Kata apa yang paling terngiang-ngiang di diri selama tahun 2020? (selain yang berhubungan sama pandemi, tentu saja)
Kalau aku: privilege.
Kata itu berkali-kali muncul, “kalau kamu masih bisa kerja dari rumah, kamu punya privilege”, “kamu bisa sekolah tinggi tuh karna kamu emang pinter (read: punya privilege)”, “ya beyonce bisa kayak gitu ya karna dia punya banyak asisten (read: privilege)”, “ya kamu sih enak…”, dan lain sebagainya. Yang gak pinter-pinter menata hati bisa ngerasa ‘gak layak’ dengan apa yang dicapai karena ‘semua itu didapat karena kamu beruntung punya privilege’ atau yang gak pinter-pinter mengevaluasi diri bisa ngerasa ‘ah gak bisa sampe ke sana karena da aku mah apa atuh gak punya privilege’. Sesungguhnya, apa dan siapakah makhluk priviledge ini? Awal-awal aku baca dan denger, aku merasa kalimat-kalimat di atas menjadi condescending dan demotivating. Aku berusaha memahami apakah privilege ini adalah sesuatu yang bisa kita usahakan atau itu sudah given.
Pada suatu pagi di hari Minggu, jadwal aku sedang menyetrika baju, aku mendengarkan Blinklist buku Outliers-nya Malcom Gladwell (tentu saja aku terlambat karena baru ‘membaca’-nya di tahun 2021). Di Blinklist buku Outliers tersebut dikatakan bahwa self-made man itu adalah mitos. Bahwa pada dasarnya pencapaian setiap orang itu adalah akumulasi dari segala faset yang terjadi dalam hidupnya, termasuk di antaranya:
- Bakat alamiah yang dimiliki
- Dukungan lingkungan (kapan kita lahir, di mana kita lahir, di mana kita tumbuh dan berkembang)
- Kerja keras yang diberikan untuk mencapai sesuatu.
Pada intinya, kalau kita mau sukses (dalam buku ini disebut ‘outliers’), kita harus bisa pintar-pintar meng-acknowledge segala multifaset yang ada dalam hidup kita lalu kita utilize semua advantages dan disadvantages itu sehingga kita berada di tempat dan waktu yang tepat. Sounds like opportunistic, eh? Tetapi, rasanya memang begitu kalau kita mau excel dalam kehidupan.
Aku lalu berpikir bahwa privilege itu adalah faset pertama dan kedua. Faset ketiga adalah internal force dari diri sendiri. Yang mana buatku, kalau gak cerdas mengelolanya seperti yang dituliskan di buku Outliers, tentu gak akan berguna juga si faset pertama dan kedua itu. Jadi faset pertama dan kedua adalah modal? Bisa jadi, kalau kita sadar. Yang susah itu kan menyadari apa yang sudah kita punya untuk bisa maju melangkah ke arah yang kita mau. Yang susah kemudian tentu saja, memutuskan apa sih yang kita mau?
Walaupun tentu balik lagi, apa-apa yang kita punya, kita capai, kita bisa lakukan, kita bisa ada di mana dan gimana, itu mah semua atas izin Yang Maha Kuasa. Jadi gak ada guna rasanya berbangga hati. Dan aku pada dasarnya percaya, kalau di mana kita tinggal, lahir, dan apa yang sudah diberikan kepada kita itu adalah yang terbaik untuk kita, ada tujuannya. Lagi-lagi, semua manusia pasti punya perannya untuk ambil bagian jadi rahmat buat alam semesta. Semoga dibukakan jalannya untuk kita semua menemukan dan menjalankan peran itu dengan baik ya.
“Being gifted does not mean you’ve been given something. It means you have something to give” – Iain S. Thomas
Pingback: Passionate Living (?) – Slice of Life