Untuk menjawab pertanyaan ini akan jadi sebuah cerita yang panjang, dimulai dari pertanyaan “mengapa aku memilih untuk berkarir di dunia akademik?”
Mundur jauh ke belakang pada saat aku SMP. Saat itu kira-kira tahun 2002. Karena pekerjaan Bapakku, keluargaku tinggal di sebuah kota kecil di Provinsi Lampung. Tidak bisa dibilang kota juga, tapi ya karena tempat itu adalah ibukota Kabupaten, mari kita sebut saja small town yang bernama Kalianda. Rasanya untuk bercita-cita tinggi seperti anak-anak di kota itu jauh sekali. Beruntung orangtuaku masih kerapkali mengajakku ke kota setiap akhir pekan (kali ini kota beneran, karena yang kumaksud adalah Kota Bandar Lampung, Ibukota Provinsi Lampung). AKu pun masih sering bertemu saudara-saudara sepupuku yang seumuran sehingga aku masih cukup update dengan perkembangan tren serta keilmuan di kota. Tapi, tidak banyak teman-temanku yang seperti itu. Cita-cita tertinggi mungkin jadi dokter. Kebanyakan jadi bidan atau PNS. Yang kepingin jadi dokter biasanya mereka yang berasal dari keluarga yang cukup mampu.
Aku termasuk siswi yang cukup terdepan di angkatanku. Sehingga, beberapa kali aku ditunjuk untuk mengikuti perlombaan ilmu pengetahuan atau olimpiade IPTEK oleh sekolahku. Sampai suatu hari, aku dan ketiga temanku lainnya, berhasil melaju ke tahap provinsi. Waktu itu seleksi olimpiade MIPA tahap provinsi dilaksanakan di Bandar Lampung. Untuk menghemat biaya, guru pembimbing dan teman-temanku menginap di rumah keluargaku selama proses perlombaan (iya, rumah kami yang sebenarnya di Bandar Lampung. Selama menetap di Kalianda, kami tinggal di rumah dinas).
Guru pembimbing olimpiade kami namanya Bapak Slamet Riyadi. Beliau guru Fisika di sekolah kami. Aku tidak pernah diajar langsung oleh beliau, jadi sebenarnya tidak terlalu akrab juga. Aku hanya tau Pak Slamet lulusan ITB dan beliau satu-satunya guru yang selalu naik mobil ke sekolah. Pada satu malam sebelum perlombaan, kami berbincang sejenak di kamar. Pak Slamet lalu berpesan kepadaku dan teman-temanku, “kalian harus sekolah yang tinggi ya. Kalau bisa sampai ke ITB. Kalau bisa sampai S2, S3 keluar negeri”.
Entah bagaimana, kalimat itu seperti membakar sesuatu di diriku. Berada di lingkungan yang kurang kondusif, jujur aku terbawa menjadi anak yang tidak punya cita-cita tinggi. Ya aku tau suatu hari orangtuaku akan mengirimku ke kota untuk bisa sekolah yang lebih bagus. Ya aku juga tau ibuku selalu kepingin aku masuk ITB, tapi ya aku gak pernah kepikiran bahwa itu adalah keniscayaan. Hari itu, aku merasa betapa peran guru sangat berarti di hidupku. Bagaimana guru bukanlah seseorang yang pandai menyampaikan ilmu, juga seseorang yang bisa menginspirasi.
Aku jadi teringat guru SD-ku. Lagi-lagi aku masih tinggal di Kalianda. Aku sekolah di SD INPRES. Waktu pertama kali masuk ke SD itu, aku gak mau sekolah. Aku masuk SD itu sewaktu kenaikan kelas 2. Sebelumnya aku bersekolah di sekolah Katolik di Bandar Lampung. Bayangkan, sekolah Katolik di Ibukota. Pastilah fasilitasnya maju. Lalu, tiba-tiba aku dipaksa pindah ke SD INPRES yang penampilannya… aduhai.
Kaca jendela banyak yang lepas. Lantai kelas dari semen, dan tentu saja bolong-bolong. Beberapa lubang di lantai malah dijadikan tempat anak-anak untuk buang sampah. Kelas yang gelap karena tidak ada lampu. Ah, dulu sampai tidak mau sekolah. Tapi, kenyataan tidak mengizinkanku untuk tidak mau sekolah. Aku tetap menimba ilmu di situ sampai lulus.
Alkisah saat aku duduk di bangku kelas 5. Ada guru baru yang masuk ke sekolah kami. Guru matematika yang kemudian jadi wali kelasku, dan guru musik. Dua guru ini seperti memberi warna baru ke sekolah kami. Biasanya kelas musik hanya diisi dengan menyanyikan lagu wajib, sekarang kami jadi kenal dengan instrumen recorder bahkan pianika. Rasanya bangga sekali kalau upacara bendera kami ditunjuk sebagai pemain musik. Beda lagi dengan guru matematikaku. Beliau punya metode sendiri dalam mengajar. Beliau tidak mengajar teori, tetapi beliau banyak mengajukan pertanyaan. Kami diminta untuk memikirkan dan mendiskuikan cara menjawabanya. Sungguh kedua guru tersebut sangat inspiratif! Sekolah tidak pernah semenyenangkan itu.
Dari pengalaman itulah, aku kemudian akhirnya punya cita-cita. Aku mau jadi guru. Selama bertahun-tahun cita-citaku tidak berubah. Sampai akhirnya aku masuk ke bangku kuliah, aku akhirnya masuk ITB, dan aku bertemu dengan dosen-dosen yang sungguh luar biasa. Saat aku kuliah S1 aku merasa bahwa menjadi dosen itu asyik. Pendidikan tinggi itu menarik. Karena aku berkuliah di Teknik Industri (TI), aku jadi melihat bagaimana ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Apalagi saat kuliah, otakku seperti dipaksa untuk berkembang lebih jauh dan lebih dalam lagi. Aku mau jadi pintar dan berguna seperti itu!
Maka, di tahun keempat studi sarjanaku, aku meyakinkan diri bahwa aku mau jadi dosen.
Mulailah aku serius mendaftar jadi asisten laboratorium. Lalu, aku riset tentang S2. Aku ingin sekali S2 keluar negeri, dengan beasiswa. Saat itu tentu saja belum kepikiran tentang S3. Nanti sajalah. Pokoknya aku mau jadi dosen!