Pada tulisan kali ini, aku akan menceritakan hal-hal apa saja yang pertama kali aku tentukan pada saat aku memulai proses aplikasi studi doktoral, di antaranya:
- Skema funding
- Bidang keahlian
- Universitas dan negara
–
Terkait dengan skema funding, setauku ada tiga jenis skema funding atau kontrak yang bisa kita sasar untuk studi doktoral, yaitu:
- Skema full-student dengan funding eksternal kampus. Dengan skema ini, kita terdaftar di universitas sebagai mahasiswa doktoral dengan beasiswa yang disediakan oleh pihak eksternal kampus, misalnya beasiswa LPDP, AAS, atau beasiswa dari tempat kita bekerja di Indonesia,
- Skema full-student dengan funding internal kampus. Untuk yang ini, fundingnya biasanya dari research grant atau dana project yang dimiliki oleh professor atau research center tempat kita bernaung. Untuk skema ini kadang-kadang kita juga bisa sambil part-time atau ambil kredit sebagai teaching assistant,
- Skema employment di universitas, bisa sebagai teaching assistant (TA) atau research assistant (RA). Untuk skema ini ya sama aja dengan kita jadi pegawai, tapi pegawai akademik.
Ada satu skema lagi yang gak aku masukkan ke list, yaitu skema full student dengan biaya pribadi. Tapi, skema ini sangat unlikely. Biasanya mahasiswa S3 yang bayar sendiri itu yang udah lewat masa studi sehingga kontrak funding udah abis. Tapi ini juga jarang banget setauku.
Sejak awal aku memutuskan untuk mulai daftar-daftar S3, aku udah memilih untuk mengambil skema ketiga, atau at least skema kedua. Kenapa?
- Aku trauma dengan beasiswa eksternal. Karena dulu waktu master thesis-ku bermasalah, aku harus tektokan dan bertanggung jawab ke dua institusi (universitas dan pihak penyandang dana)
- Sekarang aku sudah berkeluarga, jadi kalau bisa aku dapet funding yang lebih stable dan lebih terjamin dari segi social security. Karena sebagai employee, tentu saja kita gak cuma dapat benefit dalam bentuk gaji, tapi juga beberapa subsidi untuk kehidupan (tunjangan transportasi, konsumsi, subsidi day care). Atau misalnya kita bawa pasangan sebagai dependant, maka dependant kita juga bisa dapat terima social service dari commune (yang ini mungkin akan cerita di lain hari)
Dan benefit pribadi yang baru aku rasakan sekarang ketika sudah menjalani studi doktoral dan menjadi employee di universitas adalah: aku jadi punya sense of responsibility yang lebih besar. Karena aku bekerja langsung kepada pihak yang ‘membiayai’ sekolahku. KPI-ku langsung dievaluasi oleh mereka. Jadi buatku mau gak mau gak ada celah buat bermalas-malasan.
–
Setelah menentukan kira-kira mau kontrak funding yang seperti apa, aku kemudian menentukan bidang apa yang mau aku ambil.
Aku adalah lulusan Teknik Industri dan Supply Chain Management. Di tenure ku sebagai dosen kemarin, aku mengajar di bidang ketekniklogistikan. Jadi kurasa harusnya ya aku di situ-situ lagi aja. Tapi, namanya manusia pada awalnya ada aja momen penasaran dan exploring. Aku coba melihat bidang keilmuan apa sih yang lagi trend dan mungkin akan jadi trend di masa depan juga yang beririsan dengan kompetensi serta minatku. Ada momen aku sempat tertarik dengan Machine Learning, tapi pas dibaca-baca kok rasanya otakku kurang mampu (?). Terus coba lihat-lihat Data Science, hmm boleh juga. Apalagi aku selama jadi dosen kemarin sempat mengajar kuliah terkait Statistik. Aku lalu juga sambil beberapa online course terkait ilmu ini. Dan kalau lihat core TI-ku, sesungguhnya aku sangatlah suka dengan bidang Operations Research (OR). Titik. Jadi tetep kepingin juga ada OR-nya.
Tentu saja ada momen-momen kabita dengan bidang keilmuan lain yang kayaknya jauh banget sama core aku. Pas daftar-daftar dan belajar-belajar aku menyadari kok kayaknya dasar matematikaku kurang banget ya. Padahal aku tau kalau aku mau S3 di bidang OR, aku harus kuat dasar matematikanya. Terus aku coba ambil kesempatan jadi tutor untuk Mata Kuliah Kalkulus I dan Kalkulus II sewaktu tenure sebagai dosen swasta. Lagi-lagi supaya aku kepaksa belajar. Selama fase jadi tutor Kalkulus itu, tentu saja aku merasa kok aku gak mampu banget ya, tapi di satu sisi aku juga menjadi semakin tertarik dengan matematika! Sampai ada momen aku kepikiran mau kuliah S1 lagi aja deh, ambil matematika.
But later that I knew kalau S3 itu pada dasarnya bukan jadi advance di suatu bidang, tapi jadi punya deep understanding terhadap suatu keilmuan terutama untuk basic knowledge-nya.
Ada juga momen-momen lost karena ngerasa diri ini suka ngamatin orang dan penasaran sama perilaku manusia sebagai makhluk sosial, terus malah jadi kepingin kuliah Antropologi. Naon. Lama-lama sadar diri sih, otak terlalu eksak untuk ngadepin ilmu seperti itu. Gak cocok aja.
Jadi kesimpulannya apa? Ya aku coba cari irisan dari minat dan kemampuan. Apply ke vacancy yang berkaitan dengan Data Science, Operations Research & Supply Chain Management.
Karena banyak banget masukan dari temen-temen former PhD students, namanya S3 itu bukan sekadar milih mana yang kamu bisa. Tapi milih bidang yang kamu suka, kamu passionate, dan kamu curious. Jadi selalu punya drive untuk terus lanjut kalau tiba-tiba kehilangan motivasi. Semoga ya.
–
Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah: mau ke negara apa?
Karena udah familiar sama Eropa Barat, maka daerah ini jadi tujuan utamaku. Aku juga coba-coba cari ke Australia, karena berbahasa Inggris dan dekat dari Indonesia. Tapi aku gak pernah berani coba ke US karena aku takut dengan rasisme (haha). Aku juga nyerah coba ke UK karena aku merasa website kampusnya kurang informatif dan kurang user-friendly. Tapi, bisa jadi karena aku yang gak ngerti aja.
Aku gak coba negara Asia kayak Jepang, Korea Selatan, Taiwan, apalagi Singapura karena aku takut dengan budaya kerjanya. Aku sadar sepenuhnya kalau S3 itu sulit, mau sesantai apapun pasti akan berat beban kerjanya. Jadi aku gak mau nambah-nambahin lagi beban kerjaku dengan berada di budaya yang workaholic. Ini lebih ke selera dan preferensi tentu. Aku masih kepingin bisa punya hidup yang seimbang.
Selain itu, Skema PhD as an employee udah jadi sesuatu hal yang umum di Eropa Barat. Jadi kalau mau cari-cari vacancy, informasinya lengkap dan jelas. Di Australia sejauh pengalamanku informasinya tidak sejelas itu, tetapi masih bisa dicari tau kalau ulet.
–
Setelah menentukan mau ke negara mana, lalu mau ke kampus mana?
Tips pertama dan utama yang aku dapatkan ketika mau memilih sekolah buat S3: sungguh, gak usah liat ranking.
Yang perlu diperhatikan saat memilih universitas atau research center adalah:
- Kecocokan bidang dan minat. Research direction dari department yang kita tuju, research interest dan competencies dari calon supervisor, dan tentunya dicocokin sama minat kita
- Network. Apakah research group yang kita daftar punya relasi dengan para suhu-suhu di bidang yang kita mau daftar. Apakah justru merekalah suhunya? Percayalah. Para suhu-suhu di bidang tertentu belum tentu berada di kampus Top 50 atau Top 100
- Publication record. Apakah research group tersebut punya history publikasi di top jurnal, atau apakah sering terlibat dengan project besar atau project yang terkait dengan minat kita.
Kecuali kalau bidang keahlian kita adalah bidang keahlian yang butuh alat macem-macem, fasilitas laboratorium yang mumpuni, tentu saja itu juga harus jadi faktor pertimbangan.
–
Kembali lagi, pilihan-pilihan di atas tentunya adalah pertimbangan pribadi. Semua orang yang mau sekolah punya preferensinya masing-masing.