Setelah selesai dengan IELTS, aku kemudian fokus menyusun proposal riset untuk pendaftaran di Melbourne. Seperti yang sudah kutuliskan sebelumnya, topik riset yang diusung oleh posisi PhD ini adalah terkait dengan pengembangan solution techniques atau algoritma untuk multi-objective/multi-component combinatorial optimization problems. Walaupun basisku OR (Operations Research), terminologi tersebut lumayan asing bagiku. Maka langkah pertama yang kulakukan ketika menyusun proposal riset adalah searching di google dengan keyword: multi-objective/multi-component combinatorial optimization problems’.
Pada saat itulah takdir Tuhan seperti berbicara.
Tautan pertama dan yang paling atas yang muncul di laman Google-ku adalah lowongan PhD di universitas di mana sekarang aku berada. Mejik. Lowongannya adalah untuk PhD student in Supply Chain and Business Analytics. Kubaca deskripsinya dengan seksama, dan tertulis paragraf berikut.

Hampir semua yang tertulis di paragraf di atas adalah semua hal yang ingin kupelajari lebih dalam lagi. Adalah semua hal yang minati, aku ingin kuasai, dan aku.. TERTARIK SEKALI! Waktu aku lihat persyaratannya, ternyata standar: CV, motivation letter, example of academic writing, degree & transcripts, recommendation letters. Aku sudah punya semua. Bahkan karena lowongan ini sangat sesuai dengan minatku, aku gak perlu waktu lama dan gak perlu banyak otak-atik motivation letter-ku. Bahkan bisa dibilang aku submit motivation letter-ku versi default.
Karena hal itulah gak perlu waktu lama untukku menyiapkan aplikasi ini. Juga mungkin karena aku sudah diterima di satu posisi, aku merasa aplikasi-aplikasi berikutnya cukup nothing to lose. Dicoba saja.
–
Sambil terus menyiapkan proposal riset untuk ke Melbourne, pada suatu hari di Bulan September aku menerima undangan interview dari Universitas yang kedua ini. OH! Panggilan interview keduaku! Aku gak nyiapin terlalu banyak untuk interview yang ini, karena aku merasa aku cukup familiar dengan topiknya, juga kalau tidak salah memang mepet juga waktunya. Kalau harus cerita tentang proses wawancaranya sesungguhnya aku banyak lupanya. Aku bahkan gak ingat aku waktu itu wawancara pas lagi di mana, apakah siang/sore/malam hari, dsb. Yang mewawancarai aku adalah calon supervisor dan TA-nya saat itu. Satu hal yang mungkin didiskusikan kalau kucoba ingat-ingat adalah kami berbicara tentang tanggung jawab assistantship. Saat itu aku ditanya, apakah aku prefer posisi PhD by project (with company) atau yang relate to academic position (teaching assistantship). Waktu itu aku jawab kalau aku prefer pilihan kedua. Alasannya karena memang aku suka dengan kegiatan akademik & pedagogi, serta karena kupikir kalau aku bekerja bersama company berarti aku harus tektokan dengan pihak perusahaan yang mana aku rasanya kurang tertarik dan aku khawatir terkait kendala bahasa.
Tidak lama setelah interview, aku dapat email seperti berikut:

Email yang cukup vague, kurang paham maksudnya apa kupikir aku akan masuk ke interview seleksi tahap dua. Sampai pada hari Skype Call yang kedua, hanya aku bersama sang calon supervisor. Di video call tersebut, beliau mengatakan secara implisit kalau aku diterima. Eh, gimana gimana? Di video call itu juga aku ditanya, kira-kira gimana? Apanya yang gimana, ngomong-ngomong? Ya aku sungguh kaget gak nyiapin apa-apa, apalagi posisinya aku juga sedang menyiapkan formal registration di tempat yang lain, jadi aku cuma jawab: “Can I think and discuss this with my family?“. Kalau kuingat-ingat, reaksi sang profesor kurang happy karena beliau sepertinya butuh jawaban segera. Ya, tapi aku gak bisa bilang iya/gak pada saat itu. Akhirnya kujelasin juga kalau aku juga udah keterima di tempat lain dan butuh waktu untuk mempertimbangkan segalanya ini-itu. Alhamdulillah beliau mengerti.
–
Setelah video call itu, aku langsung berdiskusi dengan suami. Aku juga bertanya kepada beberapa teman yang sudah PhD dan sebagainya, kira-kira bagaimana pendapat mereka. Salah satu teman yang kutanya adalah Kak Desti. Kak Desti adalah Ibu Kos-ku sewaktu aku studi master di Groningen, Belanda. Di bulan-bulan terakhir aku studi master, Kak Desti dan keluarga pindah ke Maastricht dan selama bulan-bulan itu juga aku bolak-balik Groningen-Maastricht karena aku kepingin deket sama Kak Desti dan keluarga. Waktu aku diskusi ke Kak Desti, aku bilang, “Kak, kota ini di mana ya? Katanya deket Maastricht”. Lalu Kak Desti menjawab, “Lho Ca. Kamu kan sering ke situ dulu nemenin aku ngisi bensin. Gak inget, toh?”. Ah, masa iya? Aku ingat kalau aku lagi stay di Maastricht aku memang sering menemani Kak Desti isi bensin ke Belgia, katanya harga bensin di Belgia lebih murah dibanding di Belanda. Tapi, karena seringnya kami pergi saat hari sudah gelap ya aku gak terlalu memperhatikan jalan.
Kuingat-ingat lagi nama kota itu. Liège. Honestly, doesn’t ring a bell. Bahkan aku gak tau cara mengucapkan nama kota itu dengan benar.
–
Pada akhirnya aku memilih posisi di Liège, instead of posisi di Melbourne. Beberapa pertimbangan di antaranya:
- Durasi kontrak. Durasi kontrak studi di Melbourne itu 3 tahun. Jujur aku pas tau ketar-ketir karena ekspektasiku kalau harus studi doktoral itu kira-kira 4 tahun. Aku menyadari aku orang yang lambat kalau bekerja, jadi sejujurnya durasi 3 tahun itu bikin deg-degan. Tapi, pada waktu aku masih tidak punya pilihan aku ya laju saja dengan Bismillah. Ketika kini aku ada pilihan dengan durasi yang lebih panjang (I will talk about this later), rasanya aku prefer yang tidak buru-buru. Karena better faster than expected daripada terlambat dari target,
- Funding. Kalau boleh buka-bukaan, total funding atau monthly stipend di Melbourne bisa dibilang mepet. Bahkan si calon supervisor udah wanti-wanti kalau aku mau bawa keluarga kemungkinan aku harus part-time 20 jam/pekan. Hm, lagi-lagi kalau gak ada pilihan tentu akan kulaju dengan Bismillah. Posisi di Liège menawarkan full-time employment dengan monthly salary yang cukup untuk membawa keluarga. Terlebih, karena aku juga sudah lumayan familiar dengan sistem ketenagakerjaan di Eropa Barat, dengan kontrak full-employment aku bukan hanya mendapatkan gaji bulanan, tetapi beberapa social benefit tambahan seperti: tunjangan makan, tunjangan transportasi, dll. Selain itu, akan lebih secure untuk keluargaku secara kependudukan kalau aku datang ke negara tersebut sebagai pekerja (again I will talk about this later also),
- Bidang Keilmuan. Last but not least, tentunya kecocokan bidang keilmuan. Lowongan yang Melbourne ini di Dept. Computer Science, yang tentu saja melenceng jauh dari core expertise-ku. Sedangkan lowongan di Liège seperti judulnya saja sudah sama dengan background bachelor & master-ku. Juga topik yang ditawarkan sangat relevan dengan minatku.
Saranku, sama seperti kita daftar kerja. Jangan malu untuk tanya banyak saat interview atau sebelum tanda tangan kontrak. Apalagi kita akan pindah ke negeri orang, tanyakan sedetail mungkin jangan sampai ada yang kelewat. Itu hak kita kok untuk tau semuanya sebagai pertimbangan. Kita perlu mempersiapkan hal-hal untuk kepindahan, apalagi kalau bawa keluarga, dsb. Kita boleh tanya apakah gaji yang tertulis itu gross atau nett kalau tidak jelas. Kalau ditulis gaji sekian tanyain itu gross apa nett. Ada kejadian temanku sudah berangkat untuk S3, ketika tiba di negaranya eh ternyata malah harus balik lagi ke Indo karena ternyata baru tau kalo gajinya gak cukup. Jadi, pokoknya gakpapa banget nanya detail karena sekolah doktoral itu gak sebentar. Jangan sampe kita yang udah pusing ngejalanin prosesnya, harus ditambah mesti pusing juga mikirin duh bulan ini aku punya uang gak ya..
–
Setelah memutuskan dan menerima posisi di Liège, sebenarnya aku langsung kepingin drop posisi di Melbourne. Karena aku takut sekali menutup rezeki orang lain hanya karena aku butuh posisi aman. Tapi, aku disarankan oleh keluarga dan teman-teman untuk tidak nge-drop salah satu sampai aku tanda tangan kontrak di salah satu. Jujur, berat sekali bagiku. Apalagi aku ingat kata-kata calon supervisor di Melbourne yang bilang kalau posisi ini harus segera diisi karena pakai grant tahun 2019. Bisa jadi grant-nya hangus kalau mundur. Gimana coba kalau karena aku nunda-nunda ngabarin, akhirnya aku malah menghanguskan grant tersebut karena udah keburu mepet akhir tahun sehingga gak keburu hire orang lain?
Suatu hari yang menakutkan itu tiba. Calon supervisor dari Melbourne chat aku di Skype menanyakan progress research proposal dan registrasiku di sistem. Dengan mengucap Bismillah aku sampaikan kepada beliau kalau aku sebenarnya sudah keterima juga di tempat lain dan aku perlu waktu untuk berpikir. Alhamdulillah-nya (dari chat-nya) sepertinya beliau paham, namun beliau bilang kalau bisa beliau dikabari secepat mungkin. I wish I could..
–
Sampai di Bulan Oktober 2019, saat itu aku sedang di luar kota menyaksikan sebuah event. Aku ingat hari itu hari Jumat sudah masuk jam 21 malam, tiba-tiba aku dikabari oleh Liège kalau aku harus tanda tangan kontrak hari itu juga maksimal jam 23 malam. Kalang kabut, aku dan suamiku keluar malam-malam cari kios printer di kota itu karena kita gak bisa nge-print di hotel. Ternyata, bisa dibilang gak ada yaa tempat nge-print di pusat kota… Entah mungkin karena sudah malam atau karena memang gak ada aja?
Setelah keliling-keliling cukup lama akhirnya kita ketemu satu tempat nge-print. Dan tantangan dimulai di hari itu. Mesin printer yang tersedia adalah desk printer yang kayaknya per lembar butuh waktu 5-10 detik untuk nge-print satu halaman, kemudian butuh waktu 30-45 detik untuk nge-scan satu halaman (!!). Sedangkan jumlah halaman dari dokumen yang harus aku cetak dan scan adalah sebanyak 23 halaman!!! Sungguh sesuatu. Pada akhirnya aku gak sempet nge-print dan nge-scan semuanya tepat waktu, lalu aku bilang kepada pihak universitas (co-supervisor). Beliau akhirnya bilang gakpapa, yaudah hari Senin aja. Pfiuh..
Hari Senin kukirim dokumen kontrak yang sudah kutanda-tangan dan scan dan kemudian lagi-lagi dengan mengucap Basmallah aku drop offering dari Melbourne.