Kalau ditunggu sampai batas waktu service level yang dijanjikan, seharusnya aku menunggu dengan sabar saja sampai bulan Februari atau Maret 2020. Sambil menunggu kabar dari single permit, aku menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk langkah selanjutnya, yaitu aplikasi visa tipe-D. Selama proses menunggu itu, bisa dibilang sama sekali tidak ada kabar terkait singe permit ini baik dari pihak universitas, commune Wallonia, bahkan Imigrasi Belgia. Coba tanya ke Kedutaan Besar Belgia di Indonesia tidak ada gunanya, karena itu bukan wilayah kerja mereka.
Bulan Februari bisa dibilang aku sudah cukup kehabisan harapan, benar-benar merasa yasudahlah mungkin udah bukan jalannya. Tapi, pada saat yang bersamaan aku juga masih mengusahakan hal-hal yang harus diusahakan. Seperti itu tadi, menyiapkan persyaratan visa tipe-D. Akan kuceritakan di tulisan yang lain karena urusan visa tipe-D ini juga tidak mudah bagiku dan suami, ternyata. Ada saja ya.
Aku mulai mencari-cari lowongan lain di bulan Februari. Sebagai alternatif maksudnya. Tetapi, tidak bisa terlalu serius juga karena dalam hati masih merasa ‘masih ada kemungkinan’. Calon supervisor dan co-supervisorku juga begitu baik masih mau menunggu dan berkali-kali mengatakan “this is not your fault, Anisha”. And it wasn’t, indeed. It’s just a bad luck. Walaupun aku sudah tanda tangan kontrak di Liège, aku belum bisa mulai bekerja dari jarak jauh. Karena untuk aku bisa secara sah bekerja untuk universitas di Liège, single permitku harus sudah issued. Balik lagi, single permit menandakan bahwa aku diizinkan bekerja di wilayah Wallonia dan Kerajaan Belgia. Jadi, kontrak yang sudah kutandatangani itu bisa dibilang belum berarti apa-apa.
Cukup lelah menjawab pertanyaan orang-orang “kok belum berangkat?”, “jangan-jangan gak jadi berangkat”, dan lain sebagainya. Komentar yang cukup discouraging karena memang itu semua adalah pertanyaan yang selalu muncul di kepala setiap harinya.
–
Sampai akhirnya masuk bulan Maret 2020, belum ada kejelasan juga dan pandemi datang.
Otomatis semua proses terhenti. Baca berita sana-sini, proses pengurusan single permit yang sudah masuk berhenti total. Walaupun berjalan di beberapa minggu berikutnya, hanya diurus oleh satu orang. Maka huge delay was expected. Aku sudah berhenti bertanya tentang progress yang ada. Tidak lagi rajin cek email menanti siapa tau ada kabar baik. Tidak juga sedih kalau memang tidak ada. Hari-hari di awal pandemi kujalani dengan survival mode. Rasanya semua orang juga begitu. Jadi tidak ada daya lagi buatku untuk berharap sesuatu yang lebih dari sekadar bisa hidup sehat dan damai di masa sulit.
Di titik itu aku benar-benar let go. Sudahlah, whatever will be, will be. Tuhan baik sekali aku pikir memberikan aku pengalaman ini, yang mengajarkanku jadi orang yang legowo dan ikhlas. Tidak memaksakan kehendak dan kecewa akan ketidaksesuaian.
–
Masuk pertengahan tahun 2020, secercah harapan terbuka.
Ternyata bukan aku saja yang mengalami masalah ini. Banyak calon researcher dan employee lain dari luar Belgia yang tertahan kontraknya karena aturan single permit ini. Akhirnya pada suatu hari di bulan Juli, entah keajaiban dari mana, berita baik itu keluar. Aku sudah officially diizinkan menjadi tenaga kerja di wilayah Kerajaan Belgia. Alhamdulillah.
–
Langkah berikutnya adalah mengurus visa tipe-D dan kepindahan. Tidak bisa diurus saat itu juga. Karena pandemi, pihak Imigrasi Belgia melarang perjalanan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak masuk ke dalam list. Salah satunya adalah aku, researcher.
Jadi kami masuk ke masa penantian berikutnya. Masa penantian visa tipe-D.