Awal Desember 2021 aku memutuskan untuk kembali berlangganan aplikasi Gramedia Digital, awalnya karena aku kepingin membaca buku terbarunya M. Aan Mansyur dan Lala Bohang. Lalu, pada saat libur akhir tahun kemarin, Qadarullah aku dan suami dikasih rezeki kurang enak badan, akhirnya setengah dari masa liburan kami dihabiskan dengan di rumah saja. Dengan berbekal di rumah saja dan tidak mau menyianyiakan langganan di Gramedia Digital, hari-hari terakhir di 2021 kuhabiskan dengan membaca banyak buku Indonesia.
Aku merasa ketika aku sedang merasa suntuk dan kosong, aku selalu mencari kenyamanan yang sudah aku tau, yaitu dengan cara: menonton film Indonesia atau membaca buku Indonesia. Malahan seringnya aku menonton atau membaca kembali film atau buku yang sudah pernah kutonton dan aku tau aku suka. Kadang-kadang begitu ya, kita malas untuk mencari sumber kenyamanan yang baru dan akhirnya bertahan pada sumber kenyamanan yang telah ada.
Kecepatan aku membaca buku Indonesia juga bisa dibilang cukup cepat. Selama enam hari di rumah saja, aku membaca enam buku. Artinya satu buku setiap hari (atau lebih tepatnya setiap malam, karena aku membaca sebelum tidur). Buku-buku yang kubaca bisa dikategorikan sebagai berikut:
- Buku baru yang belum pernah kubaca
- Buku lama yang sudah pernah kubaca kemudian kubaca lagi
- Buku lama yang belum pernah kubaca
Buku baru yang belum pernah kubaca
Seperti yang kusebutkan sebelumnya, alasan aku kembali berlangganan Gramedia Digital adalah karena aku ingin membaca buku barunya M. Aan Mansyur dan Lala Bohang. Buku pertama yang kubaca setelah kembali berlangganan adalah buku Perjalanan Menuju Pulang: Kisah Perempuan di Antara Ruang dan Waktu yang ditulis oleh Lala Bohang dan Lara Nuberg. Buku ini ditulis oleh dua perempuan yang berasal dari dua negara yang berbeda, Indonesia dan Belanda, yang melakukan perjalanan batin untuk menelusuri asal-usul dan akar kehidupan dari ceritera nenek moyang masing-masing. Tentu saja perjalanan kedua perempuan ini bertautan, sebagaimana kita tahu Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun lebih. Perjalanan ini membuka pemahaman tentang bagaimana kehidupan di masa lalu membentuk kehidupan di masa sekarang mulai dari makanan apa yang biasa disajikan di meja. Lara dan Lala juga bercerita bagaimana sejarah dan riwayat kehidupan serta dinamikanya dibicarakan di keluarga masing-masing.
Tetapi sejarah – atau setiap cerita – memiliki banyak perspektif, tergantung di titik mana kamu menjejakkan kaki dan kepentingan apa yang kamu pegang. Hal itu tidak pernah tunggal, dan pada akhinya, menurutku, sejarah juga tentang empati
Membaca buku ini mengingatkanku tentang salah satu mimpi terbualku untuk melanjutkan studi di bidang antropologi atau sejarahwan (tentu saja ini khayalan, karena aku sadar otakku terlalu eksak untuk menjadikan bidang tersebut sebagai ilmu untuk dipelajari). Aku sangat tertarik dengan manusia. Mengapa kita berbeda walau pada kenyataannya sebenarnya kita sama? Mengapa beberapa manusia melakukan beberapa hal dan beberapa lainnya melakukan hal yang berbeda? Mengapa kita tumbuh menjadi manusia seperti kita saat ini? Pasti semua itu ada alasan yang tumbuh dari masa lalu dan terawat di ekosistem masa kini.
Banyak fakta sejarah yang baru kutau setelah membaca buku ini. Seperti aku baru tau kalau Indonesia harus membayar ‘hutang kemerdekaan’ kepada Kerajaan Belanda sebesar 4 miliar gulden! Oh barangkali hal ini pernah diajarkan di kelas, tapi tentu aku tidak ingat. Aku tidak ingat karena sejarah selama aku bersekolah hanya menjadi tumpukan hapalan nama dan tanggal yang akhirnya jadi tak bermakna.
Buku ini diterbitkan juga dalam bahasa Inggris dengan judul “The Journey of Belonging” dan bahasa Belanda “In Haar Voetspoern“.
Buku baru yang kedua yang kubaca adalah buku kumpulan puisi karangan M. Aan Mansyur yang berjudul Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau. Aku adalah penggemar berat M. Aan Mansyur, aku merasa beliau adalah seorang wordsmith yang piawai menyimpan makna tersirat maupun tersurat sekaligus dalam setiap larikan tulisannya. Sudah beberapa kali aku mengunjungi acara diskusi buku, pembacaan puisi ataupun event kesusastraan lainnya yang dihadiri oleh Aan Mansyur – saking aku ngefansnya! Membaca buku kumpulan puisi ini sebenarnya tidak terlalu baru buatku. Karena aku mengikuti Aan Mansyur di berbagai platform media sosialnya, aku jadi sudah pernah membaca beberapa puisi yang ada di buku ini. Semua puisi yang tercantum di buku ini aku sangat suka, tetapi yang paling favorit adalah puisi “makassar adalah jawaban. tetapi, apa pertanyaannya?“. Pertama kali aku membaca cuplikan puisi ini adalah di twitter. Aan Mansyur sering pelan-pelan membangun larik-larik puisinya melalui cuitannya di twitter. Aku merasa aku terpaut dengan puisi ini karena aku merasa ikut hadir dalam pengembangannya.
Ada satu buku baru Aan Mansyur lagi yang ingin kubaca sebenarnya, yaitu Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu. Namun, sayangnya versi digital buku ini belum terbit di mana-mana. Akhirnya aku membaca buku Perjalanan Lain Menuju Bulan.
Buku lama yang sudah pernah kubaca kemudian kubaca lagi
Seperti yang kutuliskan di atas, aku sering mencari kenyamanan lama ketika aku merasa suntuk dengan kehidupan masa kini. Awal Desember lalu aku di puncak-puncaknya menuju burnout. Menuju akhir semester, pekerjaan semakin menumpuk, tugas juga banyak, belum lagi tuntutan kehidupan yang tiada habisnya. Kalau sudah begini aku akan mulai membaca buku-buku yang ringan, alias chicklit atau metropop. Novel yang kupilih kali ini adalah dua buku dari Ika Natassa, yang berjudul Architecture of Love dan A Very Yuppy Wedding. Waktu aku kuliah S1 dulu, aku sangat suka membaca novel-novel Ika Natassa. Sepertinya tokoh-tokoh yang dituliskan di bukunya (yang mana sangat tipikal) menjadi bayangan umum dari mahasiswa jurusan teknik tentang kehidupan masa depan setelah lulus dari kuliah sarjana: kerja di salah satu gedung tinggi di Jakarta, minum Starbucks setiap hari, memakai dress fancy dan barang-barang bermerk lainnya untuk bekerja, terjebak kemacetan setiap hari. Sebuah kehidupan yang benar-benar metropolis. Pun karakter tokoh yang digambarkan sangat relatable (pada saat itu), sering mengeluh – layaknya mahasiswa pada umumnya yang kerjaannya menuntut, menuntut dan menuntut serta penuh amarah.
Namun sebenarnya, makin ke sini, saat menjadi dewasa dan menjalani kehidupan pekerjaan di Jakarta, aku merasa karakter Ika Natassa terlalu dramatis dan.. utopis. Membaca lagi ceritanya justru membuatku marah. Kenapa sih rewel banget? Haha. Sungguh kehidupan Jakarta membuatku keras. Tapi, ya sesekali masih kubaca buku-buku Ika Natassa, sebagai pengisi waktu seperti kali ini. Kedua buku ini kubaca sangat cepat, sepertinya dua buku kubaca dalam sehari. Selain karena ceritanya aku sudah familiar, juga memang aku sangat cepat kalau membaca novel roman Indonesia. Tidak ada kesan baru dalam membaca buku ini, ya begitu saja. Rewel dan drama queen.
Buku lama berikutnya yang kubaca lagi adalah novel Pulang karangan Leila S. Chudori. Novel ini adalah tulisan Leila Chudori pertama yang kubaca,. Dan setelah membaca Pulang, aku jadi lanjut membaca novel-novel Leila Chudori lainnya, seperti Laut Bercerita, karena aku begitu terkesan dengan kisah di novel Pulang. Kemarin itu, aku sudah lupa tentang apa yang diceritakan di novel ini, maka kuputuskan untuk membacanya kembali.
Ada perasaan baru yang muncul saat akhir tahun kemarin aku membaca buku ini. Aku merasa lebih dekat dan relate dengan kisah para eksil yang diceritakan di buku ini. Tentu aku bukan eksil, dan semoga saja tidak ya. Tetapi, aku tau rasanya tidak bisa pulang ke Indonesia padahal ingin. Masa-masa pandemi ini membuatku sulit untuk bolak-balik ke Indonesia dengan mudah. Tentu saja apa yang aku rasakan tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh para eksil Indonesia di mana pun mereka berada. Lalu, karena aku sekarang tinggal di Belgia bagian Perancis, dan aku sedang belajar bahasa Perancis, ada beberapa istilah serta budaya Perancis yang kini aku lebih paham dan bisa mengikuti. Tidak hanya jadi pengetahuan selewat saja saat membaca buku. Bahkan kini aku punya cita-cita untuk melakukan napak tilas novel Pulang jika suatu hari aku mengunjungi Paris, misalnya mengunjungi Restaurant Indonesia yang katanya menjadi inspirasi atas Restaurant Tanah Air yang ada di dalam novel.
Setelah aku membaca kembali buku-buku lama ini, aku seperti kembali menjadi diriku. Aku merasa refreshed dan punya semangat baru. Lucu ya, bagaimana masa lalu membawa energi ke masa kini? Erat-erat akan kusimpan perasaan baik ini.
Buku lama yang belum pernah kubaca
Ada beberapa buku klasik (bisa dibilang) yang aku telat membaca dibanding rekan-rekan seumuranku. Aku suka membaca, tetapi aku suka membaca untuk hiburan dan mengisi waktu. Jadi pada dasarnya aku tidak terlalu tertarik dengan buku yang berat atau terlalu kompleks. Namun, makin ke sini, makin banyak bacaan yang kukonsumsi, makin luas khazanah bacaanku. Makin aku bisa menerima jenis-jenis buku yang baru.
Aku baru ingat, pertama kali aku membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer adalah tahun 2018. Di saat mungkin teman-temanku sudah membacanya sejak SMA atau kuliah S1 (?) Tetapi, saat itu aku merasa belum cukup umur untuk bisa menikmati buku-buku tersebut. Terlalu berat. Tahun 2018 aku pertama kali membaca Bumi Manusia, dan aku tidak berhenti untuk melanjutkan menyelesaikan Tetralogi Buru. Kini Tetralogi Buru menjadi salah satu bacaan yang aku simpan sebagai favoritku.
Sama dengan kali ini. Aku mencoba membaca buku Eka Kurniawan yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Aku tertarik membaca buku ini karena saat ini kisahnya diangkat ke layar lebar. Aku tidak tau apakah aku bisa menontonnya, karena yang kutau penayangan terdekat adalah di Berlin (yang mana sebenarnya jauh ya!), dan tidak tau apakah akan hadir di platform digital.
Tahun 2019 lalu sebenarnya aku sudah pernah mencoba membaca karya Eka Kurniawan, yang berjudul Cantik Itu Luka. Aku sering penasaran dengan karya sastra yang dikatakan orang klasik atau legenda atau a-must-read. Tapi, saat itu aku tidak mendapatkan kesan baik. Baru beberapa halaman pertama aku sudah menutup buku tersebut dan mengembalikannya ke rak (waktu itu aku membaca di salah satu books-cafe di Bintaro). Aku tidak ingat kesan spesifik apa yang kurasakan, tetapi saat itu aku bilang ke diri sendiri: “Ini bukan seleraku. Not my cup of tea“. Biarlah kalau banyak orang lain suka, kalau aku tidak suka mau apa?
Tetapi, kali ini aku coba membaca buku Eka Kurniawan yang lain. Dan surprisingly, aku menikmati membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT). Buku ini kuselesaikan dalam satu malam (plus sedikit di pagi hari keesokannya). Aku cocok dengan gaya bahasa di buku ini, komikal. Dalam artian seperti gaya bahasanya seperti membaca komik atau kisah silat zaman dulu. Bukan komik dalam artian lucu, karena novel ini tidak lucu sama sekali. Aku bisa menoleransi dan memfilter beberapa bagian vulgar dalam novel ini. Mungkin itu yang membuat aku tidak terlalu suka tulisan Eka Kurniawan sebelumnya. Terlalu vulgar – dalam arti konotatif maupun denonatif.
Memang ada beberapa buku yang aku baru bisa menerimanya setelah memasuki usia tertentu. Entah karena aku bertambah dewasa, aku menjadi semakin bijak, atau barangkali aku menjadi tidak terlalu overthinking sehingga tidak terlalu peduli dengan bumbu-bumbu yan tidak kusukai. Aku hanya fokus pada kisahnya yang bisa kunikmati dan kuambil hikmahnya. Sama seperti membaca novel SDRHDT ini.
–
Kemudian, libur akhir tahun kemarin kututup dengan membaca buku karangan Ayu Utami yang berjudul Saman. Dulu, saat kuliah S1, aku sudah pernah membaca karya Ayu Utami yang lain, yaitu: Bilangan Fu dan Cerita Cinta Enrico. Aku tidak ingat persis bagaimana kesanku, tetapi saat itu aku tau aku bukan fans tulisan Ayu Utami. Rasanya dulu tulisan Ayu Utami masih terlalu kompleks untukku. Sama seperti dulu di tahun 2008-2010 aku membaca novel Supernova-nya Dee Lestari, aku tidak suka. Tetapi, tahun 2020 aku baca kembali aku tidak masalah karena aku sudah bisa memahaminya dengan baik. Memahami ceritanya juga gaya bahasanya.
Kali ini aku bisa menikmati Saman. Barangkali juga karena aku sudah punya wawasan akan kisah sejarah yang menjadi latar belakang kehidupan Saman. Bacaan-bacaanku sebelumnya memberikan pengetahuan dasar untuk bisa mengikuti kisah di novel ini.
Novel Saman menjadi penutup bacaan akhir tahunku, bertepatan dengan habisnya masa langganan Gramedia Digital. Tapi, novel ini sungguh berkesan buatku sehingga saat ini aku sedang membaca lanjutannya, yaitu Larung. Aku membaca Larung secara digital tentu saja, dengan meminjam buku di aplikasi iPusnas.
–
Sekian cerita dan review-ku. Sebenarnya walau aku suka membaca, tetapi aku tidak suka mereview buku. Aku lebih suka bercerita tentang pengalamanku membaca bukunya.
Selalu kagum sama orang-orang yang konsisten baca buku! Aku juga lagi pengen banget baca bukunya Leila Chudori tapi kok belum kesampaian terus, baru sempet baca karya anaknya (Rain Chudori) meski mungkin karena aku lagi senengnya baca yang berbahasa asing belakangan ini. Makasih buat listnya Mbak, aku mau bookmark untuk dicontek besok-besok kalau kehabisan bahan bacaan hehe.
LikeLiked by 1 person
Halo! Aku juga baru kenal Leila Chudori setelah membaca karya Rain Chudori yang Imaginary City. Aku merasa cocok dengan cara Leila Chudori memasukkan unsur sejarah dan politik di tiap novelnya. Anyway, semoga bermanfaat yaa list-nya, selamat membaca! 🙂
LikeLike
Setuju tentang Ika Natassa. Dulu bacanya seru, sekarang kayak gregetan, apaa banget siih (rewel).. Walaupun gaya menulis Ika Natassa emang enakeun karena detail dan mengundang penasaran.
Pram emang ga ada duanya, aku lupa bacanya kapan, dulu baca bukunya si Mama beli, di Palasari (bukunya disampul plastik rapi di penjualnya, hehe), masih cetakan lama. Pengen baca lagi belum kesampean.
Aku minjem buku Pulang dari Kang Iging, bagus banget, speechless. Relate, tentu iya.
Dan aku juga kurang cocok sama cerita-cerita Ayu Utami. Kayaknya dulu pas baca Saman sama Larung aku belom cukup dewasa, haha. Minjem Bilangan Fu juga dari Kang Iging, cuma kebaca beberapa bab aja akhirnya aku kembaliin.
LikeLike
Pingback: Bacaan dan Tontonan Musim Panas 2022 | Slice of Life