Sudah masuk bulan Maret.
Matahari sejauh ini konsisten hadir setiap hari. Sudah hampir dua minggu cuaca cerah, langit bersih dan biru, dan sepertinya akan berlanjut sampai beberapa hari ke depan. Setelah sebelumnya selama satu minggu penuh daerah Eropa Barat diterpa badai Eunice dan teman-temannya, tidak lupa berbulan-bulan langit abu-abu selama musim dingin. Rasanya kini dunia seperti berbeda. Benar-benar seperti masuk ke babak yang baru.
Selama tahun kedua hidup di sini, aku baru merasakan lagi namanya dinamika kehidupan. Perpindahan dari satu musim ke musim berikutnya, bukan hanya tentang cuaca melainkan juga kebiasaan orang-orangnya. Kemarin aku ngobrol sama teman sekelasku, kami merasa musim dingin kemarin rasanya lama sekali, dan juga sendu. Aku mengingat-ngingat bagaimana rasanya ya musim dinginku di tahun-tahun sebelumnya? Setelah kuingat lagi, sepertinya tidak terlalu berkesan. Tahun pertama kemarin seperti tidak terasa dan sama saja, karena mungkin masih banyak di rumah. Namun, sejak musim panas 2021 kemarin hidupku terasa lebih hidup dan berwarna. Ada banyak perubahan dan rangkaian kejadian di dalamnya. Dan karena sudah hampir setiap hari keluar rumah, akhirnya cuaca dan musim jadi sangat mempengaruhi mood dan juga perilaku setiap hari. Paling kerasanya secara tangible karena aku sudah pakai jaket dan kombinasi baju yang sama selama berbulan-bulan, jadi seperti sudah lama sekali.
Beneran kerasa susahnya jadi orang fungsional (masih tidak mau disebut minimalis) ketika harus keluar rumah setiap hari. Sudah sejak lama aku tidak terlalu memikirkan penampilan segitunya (dulu paling tidak aku harus pakai baju yang berbeda setiap hari dalam satu bulan :D), tetapi ya bukan berarti tidak peduli juga. Apalagi pekerjaanku mengharuskan aku untuk ‘tampil’ di depan audiens (yang mana adalah sekumpulan students), rasanya kurang elok kalau pakai baju yang itu-itu saja. Ah, tapi ini masalah minor.
Tapi, betulan deh. Rasanya musim dingin kemarin lamaaaa sekali. Setiap hari seperti sama, karena langit selalu sama, abu-abu. Tidak ada salju pula di musim dingin kali ini. Makin-makinlah tidak ada dinamika. Selama musim dingin kemarin berusaha keras untuk tidak terpengaruh oleh cuaca, tapi susah juga.
Jadi ketika masuk ke Bulan Maret ini disambut dengan matahari setiap hari, aku gak mau menyia-nyiakannya. Ditambah akhir Februari-awal Maret kemarin aku sempat mengalami burnout, rasanya paparan sinar matahari yang cukup akan membantuku untuk kembali prima dan berenergi.
Aku berusaha untuk sangat menikmati cuaca cerah selama musim semi ini, tidak melewatkannya begitu saja. Kalau tidak salah ingat, tahun lalu musim semi masih dingin dan berawan. Malah pernah turun salju di bulan April. Maka tahun ini aku bertekad untuk sering-sering menikmati matahari dan cuaca baik selagi ada kesempatan.
Buatku cuaca cerah di musim semi itu sangat blossoming. Beneran setelah kelabunya musim dingin, rasanya merekah sekali dikasih matahari tuh. Dan lebih nyaman lagi karena cuaca cerah di musim semi tidak dibarengi dengan sumuknya dan keringnya musim panas. Aku bukan fans musim panas, terutama di Eropa. Karena sepanas apapun aku gak akan bisa pake baju tipis dan terbuka (bukan mengeluh tentu saja!) dan di sini tidak ada air conditioner, mentok-mentok kipas angin yang bisanya meniupkan angin panas :)). Aku inget banget musim panas tahun lalu aku cuma mampu kerja setengah hari saking panasnya sampai aku sakit kepala. Jadi menurutku, cuaca cerah di musim semi (atau akhir musim panas menuju musim gugur) itu sangat pas. Cerah tapi gak panas.

–
Ada satu hal lagi yang membuat bulan Maret ini terasa begitu istimewa.
Per tanggal 7 Maret kemarin, seluruh Belgia resmi masuk ke code yellow. Artinya apa? Artinya hampir seluruh aturan tentang protokol kesehatan diangkat, termasuk kewajiban memakai masker baik di indoor maupun di outdoor.
Aku ingat hari Senin kemarin aku ada kelas jam 10 pagi. Aku duduk di depan berdua bersama temanku. Ketika dosennya memintaku untuk mengoper lembar kehadiran ke barisan belakang, aku kaget, “lho kok gak pada pake masker?”. Kutanya temenku, “lho iya emang per hari ini udah gak wajib lagi pake masker“. Aku gak sadar sebelumnya, karena aku dan temenku masih pake masker.
Rasanya sangat aneh.
Pandemi sudah dua tahun ya, dan selama ini aku gak pernah lepas masker kecuali di bubble-ku sendiri. Keluar rumah, pake masker. Walaupun hanya untuk ambil paket atau buang sampah. Keluar ruangan di kantor, walau cuma ke WC, langsung pake masker. Kalau ada tamu yang masuk ke ruangan, langsung pake masker.
Masker udah jadi otomatis.
Rasanya kikuk sekali waktu kemarin papasan sama orang di lorong dan WC, pada gak pake masker. Split second sempet suuzon, abis itu langsung inget kalau aku yang aneh justru. Ada juga kemarin sewaktu lagi meeting, cuma aku yang pake masker, sampai peserta rapat lainnya nanya, “kita mesti pake masker juga nih?“, gak bisa bilang iya tentu saja karena aturannya udah gak ada.
Sebenarnya bukan pertama kali aku hidup di masa pandemi di area yang tidak mewajibkan pakai masker di indoor. Musim panas kemarin aku sempat tinggal satu bulan di Belanda, dan pada saat itu tidak ada kewajiban memakai masker kecuali di transportasi publik. Kalau ke supermarket, aku jadi satu-satunya orang yang pakai masker. Bahkan aku naik sepeda pun pakai masker! Atau kalau lagi ke Leuven atau kota lain, juga beberapa kali memang sudah tidak diwajibkan untuk pakai masker.
Tetapi, rasanya sungguh berbeda kalau di rumah sendiri.
Kebiasaan-kebiasaan yang terbangun di rumah sendiri selama dua tahun belakang terasa sudah menempel sebegitunya sampai ya udah jadi normal. Beberapa aktivitas begitu menempel dengan tempat di mana kita melakukannya. Biasanya kalau di sini ya pake masker, kalo sekarang udah gak. Biasanya kalo begini, kita langsung pake masker, sekarang gak.
Tujuh Maret ini menjadi sangat istimewa karena untuk pertama kalinya semenjak pandemi, aturan pakai masker ini diangkat di region Wallonia, Belgia. Sepanjang yang aku ingat selama tinggal di sini, aku harus selalu pakai masker kalau di dalam ruangan (kecuali kalau lagi makan, tentu saja). Region Flanders sudah beberapa kali bolak-balik angkat aturan pakai masker ini, tapi tidak dengan Wallonia. Jadi rasanya spesial sekali. Apakah ini artinya kita sudah di akhir pandemi? Karena untuk wilayah yang dari awal pandemi selalu ketat, sekarang sudah sampai pada momen boleh lepas masker di dalam ruangan.
Rasanya haru.
Selama pandemi kemarin aku sering ngobrol sama suamiku, kalau sudah tiba waktunya, kapan dan gimana ya kita akan melepas kebiasaan prokes ini? Aku dan suami (terutama aku sih), sangat ketat terkait prokes selama pandemi (naik sepeda di Belanda tetep pake masker kurang ketat apa?). Dan ketika itu kami gak pernah benar-benar bisa jawab karena belum kebayang. Sampai akhirnya tiba di hari kemarin, aku tanya ke suamiku, “kapan kita mau coba buka masker?“, ia jawab, “nanti aja kalau maskernya udah abis”*.
*P.S. belum tau dia kalau aku baru aja pesen masker KF94 dan strapmask dari Indonesia karena di sini gak ada jualannya.
Aku rasa aku kemarin ditakdirkan untuk terinfeksi juga di akhir pandemi ini (aamiin) juga dalam rangka menyiapkanku untuk hari ini? Kalau kemarin aku tidak terinfeksi dan kalau aku tidak berada di Belgia, mungkin aku masih si parnoan yang gak akan ke mana-mana dan gak akan ngapa-ngapain (ya sampai sekarang pun masih agak seperti itu).
–
Aku harap cuaca cerah dan diangkatnya aturan pakai masker di bulan Maret ini jadi sebuah awal dari sesuatu yang lebih baik, masa depan yang lebih baik. Walau tentu saja, tidak akan bisa diprediksi apa yang akan benar-benar terjadi nanti. Semoga kita tidak lelah berikhtiar dan tidak lengah untuk terus bersyukur.
Seperti pesan rektorku ketika mengumumkan measures baru di lingkungan kampus:
La vie reprend son cours, ce serait à célébrer s’il n’y avait pas l’ombre de la guerre à nos portes.
Pierre Wolper, Rector de Université de Liège
Life is returning to normal, which would be a cause for celebration if the shadow of war were not looming on our doorstep.
