Dari segala buku yang kubaca, baik non-fiksi maupun fiksi, bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, roman sejarah atau chick-lit, aku pikir aku tidak akan bisa memilih satu buku yang paling kusuka. Tapi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba terlintas dalam pikiranku yang sering kali acak: rasanya aku bisa memilih satu buku paling favorit.
Buku itu adalah: A Little Life, karya Hanya Yanagihara.

Pertama kali aku mengenal buku ini mungkin sekitar tahun 2018. Waktu itu aku sedang bertemu dengan temanku, Lala. Lala, karena tau kalau sama aku seringnya kami membaca bersama, pada hari itu membawa sebuah buku yang sangat besar dan juga tebal. Buku A Little Life. Ada kata Little di situ, tetapi tentu saja buku ini tidak kecil. Melainkan sangat besar, seperti yang sudah kutuliskan. Tebalnya sekitar 815 halaman. Pada saat itu tentu saja aku tidak tertarik. Tebal sekali! Lala hanya bercerita kalau buku ini menang berbagai penghargaan, dan ketika disebutkan nama penulisnya, oh Jepang sekali! Pada saat itu pembendaharaanku akan buku karya penulis Jepang hanyalah buku-buku Haruki Murakami. Aku rasa aku sedang tidak tertarik membaca buku seperti itu.
–
Sampai awal tahun 2020, ketika pandemi pertama kali tiba. Waktu itu aku sadar kalau sepertinya kita akan di rumah saja selama beberapa waktu, paling tidak dua minggu atau satu bulan. Saat itu yang aku pikirkan hanyalah, “Ah aku mau beli buku yang tebal supaya aku tidak bosan selama lockdown. Buku yang tebal juga supaya aku tidak konsumtif beli banyak-banyak buku“. Pada saat itu aku pernah melihat review beberapa buku tebal yang diunggah oleh temanku seorang bookstagram, Wahyu. Pilihanku waktu itu ada dua, Kura-kura Berjanggut atau A Little Life. Karena pada saat itu pilihan beli buku online belum terlalu banyak seperti sekarang, jadi pada saat itu aku putuskan untuk membeli buku A Little Life dari Periplus. Waktu itu aku hanya ingin mendapatkan bukunya secara cepat.
Beberapa hari kemudian, buku A Little Life sampai di rumahku dan aku mulai membaca.
Karena buku ini tebal sekali dan aku tidak sabar, aku membaca banyak review-nya terlebih dahulu untuk mengatur ekspektasiku. Aku baca plotnya di laman Wikipedia, aku juga baca beberapa review di internet (di sini dan di sini), goodreads, bahkan aku menonton video pengalaman dan pendapat orang-orang saat membaca buku ini. Yang aku tangkap: buku ini bukan untuk semua orang, buku ini penuh dengan kegelapan, kekesaran, serta kesedihan.
Aku pikir saat itu seharusnya saat pandemi aku jangan membaca buku yang berat-berat dan sedih, karena keadaan sedang sangat depresif. Tetapi, kulanjutkan juga. Dan tentu saja aku menangis. Tersedu-sedu.
Aku ingat sepertinya tangisanku ini bukan karena buku ini terlalu sedih, tetapi justru karena buku ini terlalu hangat. Aku banyak menangis di Part III buku ini, The Happy Years. Aku merasa cinta kasih yang ada di antara tokoh-tokoh di dalam buku ini sangatlah tulus dan.. manusiawi. Aku merasa seharusnya buku ini berhenti saja di Part II: The Postman. Tapi tentu saja tidak seperti itu. Seperti hidup ini, kisah di buku ini tidak serta-merta berakhir ketika bahagia dan di puncak.
Aku merasa Hanya Yanagihara sangat piawai membuatku sebagai pembaca merasa dekat dengan seluruh tokoh di dalamnya, merasa masuk ke dalam kisahnya, dan merasa… sayang dengan semua orang di dalam buku ini. Sayang yang bagaimana ya.. sayang yang tulus sekali seperti mereka benar-benar ada di dalam hidupku. Beberapa kali sepertinya aku memeluk buku ini karena aku begitu sayang dengan ceritanya, dengan Jude dan Willem, dengan Harold dan Julia. Mereka semua orang baik yang begitu aku sayangi.
–
Judul buku ini sangat menggambarkan ceritanya, dan juga kehidupan kita. A Little Life.
Kurasa buku ini membuatku berpikir bahwa, seberapapun insignifikannya (kita berpikir akan) hidup kita, seberapapun kita merasa bahwa hidup kita begitu buruknya, masa lalunya, masa kini, bahkan sehopeless apapun rasanya masa depan itu, hidup yang kita jalani adalah sebuah kisah yang layak kita ceritakan, kita rayakan, dan kita sayangi, bahkan tangisi.
Semakin ke sini aku semakin merasa bahwa hidup rasanya kurang gegap gempita. Biasa saja. Bahkan sering juga aku takut terlalu bahagia, nanti sedih katanya. Dan ketika ada kesedihan aku seringkali abai dan merasa bahwa kalau terus larut apakah aku tidak seperti drama queen? Kenapa harus melankolis sekali. Maka kita terus maju dan berusaha hidup biasa-biasa saja. Rasanya banyak hal yang terjadi dalam hidup, namun untuk menceritakannya seperti ragu. Karena biasa-biasa saja.
Padahal apapun yang kurasakan itu signifikan dan berarti. Begitu barangkali yang ingin ditunjukkan oleh Willem kepada Jude. Bahwa kenapa harus berusaha tidak apa-apa ketika memang ada apa-apa? Tidak ada salahnya diungkapkan. Menurutku orang yang peduli dan benar tulus mengasihi pasti akan mau mendengarkan.
Satu hal lagi tentang hidup barangkali tertulis di buku ini adalah betapa dalam hidup kita bisa merasakan banyak hal, bisa sepanjang hidup atau bahkan dalam satu waktu. Kita bisa marah, sedih, bingung, bersyukur, bahagia, frustasi, penuh harapan pada saat yang bersamaan. Hidup memang sekompleks itu. Manusia memang sekompleks itu. Maka berpikir biner akan kehidupan dan manusia adalah sebuah kekeliruan.
“Everyone has feelings that they knew better than to act upon because they knew that doing so would make life so much more complicated”
–
Hanya Yanagihara begitu lihai dalam berkata-kata juga merangkai cerita. Aku sangat lambat sekali membaca buku ini. Selain karena buku ini berat, aku merasa aku terlalu meresapi setiap potongan-potongan ceritanya sehingga aku butuh jeda. Aku butuh istirahat. Karena buku ini berat dan gelap.
Buku ini dengan piawainya menggambarkan bentuk persahabatan yang begitu murni. Ah, sungguh aku sayang sekali dengan empat sekawan ini!
“He took pleasure in his friendships, and it didn’t hurt anyone, so who cared if it was codependent or not? And anyway, how was a friendship any more codependent than a relationship? Why was it admirable when you were twenty-seven but creepy when you were thirty-seven? Why wasn’t friendship as good as a relationship? Why wasn’t it even better? It was two people who remained together, day after day, bound not by sex or physical attraction or money or children or property, but only by the shared agreement to keep going, the mutual dedication to a union that could never be codified. Friendship was witnessing another’s slow drip of miseries, and long bouts of boredom, and occasional triumphs. It was feeling honored by the privilege of getting to be present for another person’s most dismal moments, and knowing that you could be dismal around him in return.”
Wasn’t friendship its own miracle, the finding of another person who made the entire lonely world seem somehow less lonely?
Relationships never provide you with everything. They provide you with some things. You take all the things you want from a person — sexual chemistry, let’s say, or good conversation, or financial support, or intellectual compatibility, or niceness, or loyalty — and you get to pick three of those things. The rest you have to look for elsewhere. It’s only in the movies that you find someone who gives you all those things. But this isn’t the movies. In the real world, you have to identify which three qualities you want to spend the rest of your life with, and then you look for those qualities in another person. That’s real life. Don’t you see it’s a trap? If you keep trying to find everything, you’ll wind up with nothing.
–
Setelah aku selesai membaca buku ini tentu aku menangis sejadi-jadinya. Sekali lagi, bukan karena aku terlalu sedih, tetapi karena aku terlalu sayang. Sebegitu sayangnya. This book became my dearest friend during the first period of pandemic.
Aku tidak berani merekomendasikan buku ini kepada siapapun, karena buku ini bukan untuk semua orang. Aku bukan merasa spesial karena telah membaca buku ini, tetapi biarlah buku ini datang sendiri kepadamu.
Butuh waktu dua tahun kemudian untuk aku akhirnya menyadari bahwa buku ini adalah buku favoritku sepanjang masa (sejauh ini). Dan untuk pada akhirnya menuliskannya.
Jadi kenapa buku ini menjadi favoritku? Entahlah. Buku ini adalah tentang kehidupan. Seberapa kecil dan gemilangnya.
We shall continue. We grow. We change. We live.