Grande Mosquée de Bruxelles

Kalau sedang berjalan-jalan di Eropa ini, kami selalu berusaha untuk mampir ke masjid di kota tersebut. Kalau ada dan kalau mudah dijangkau. Ada, karena tidak semua tempat di Eropa menyediakan masjid. Biasanya hanya di kota-kota besar karena lebih multikultural. Atau kalaupun ada, kadangkala informasinya tidak tersedia di Google.

Selanjutnya, kalaupun ada, kadang-kadang lokasinya jauh dari rute yang kami ambil. Biasanya kami kalau jalan-jalan di sebuah kota, sebisa mungkin mengambil rute jalan kaki. Alasan utamanya ya berhemat. Kecuali kotanya sangat besar, misal di ibukota seperti Amsterdam, kami akan beli tiket transportasi umum. Nah, kalau lokasi masjidnya jauh dari jangkauan jalan kaki kami, maka kami memilih untuk sholat di mana saja. Bisa di taman, di bis/kereta, atau dijamak ketika kami sudah tiba di tempat istirahat atau rumah.

Akhir pekan kemarin, kami mengunjungi ibukota Belgia, Brussels. Seperti biasa, salah satu yang ada dalam rute perjalanan kami adalah kalau bisa sholat wajib di Masjid. Googling sebentar yang keluar paling atas adalah Grande Mosquée de Bruxelles. Lokasinya di dalam Parc du Cinquantenaire. Salah satu taman kota paling besar di pusat kota Brussels. Kami berencana untuk berjalan menuju masjid ini pada pukul 13 siang, sehingga bisa tepat datang di saat adzan dzuhur.

Hari itu matahari terik sekali. Sudah masuk musim semi, dan temperatur sedang di atas 20 derajat. Teriknya matahari dan juga kondisi sedang berpuasa, sebenarnya membuatku sedikit haus. Tapi, karena aku senang berjalan kaki, jadi kujalani saja.

Dari pagi kami sudah berjalan-jalan di kota Brussels. Bahkan kami berjalan sambil putar-putar dari Stasiun Brussels Midi ke area pusat kota di dekat Stasiun Brussels Central. Total kami sudah berjalan kaki selama 2 jam. Kami lihat di google maps, dari pusat kota ke Cinquantenaire Park kira-kira 2 km lebih, sekitar 30 menit perjalanan. Ah, jarak yang biasa kujalani sehari-hari kalau pulang dari kampus.

Yang kami tidak tau adalah perjalanan dari pusat kota ke Cinquantenaire Park, walau lurus namun menanjak. Area jalan raya penuh dengan gedung tinggi dan hampir tidak terlihat pepohonan. Aku coba buka masker supaya bisa menghirup oksigen lebih banyak. Ternyata, bau polusi! Pertama kalinya lagi aku setelah 2 tahun menghirup bau polusi. Oh, begini ya rasanya dulu di Jakarta! Bahkan mungkin waktu bekerja di Jakarta, polusinya lebih tebal lagi. Langsung kututup lagi maskerku.

Jalan menanjak saat matahari sedang di atas kepala serta dalam keadaan puasa, rasanya aku ingin menyerah. Sudahlah kita pulang saja, sholat di kereta atau di rumah. Tapi, ada satu sisi di hatiku yang berkata, “Ya ampun masa kamu gak mau lihat masjid paling besar di sini? Lagipula sepertinya tamannya bagus sekali”.

Menuju ke sana, kami melewati beberapa taman kota, di antaranya Parc de Bruxelles dan Leopold Park. Suamiku menawarkan berhenti sejenak untuk beristirahat. Boleh lah. Toh adzan dzuhur belum berkumandang.

Jalur dari Brussels Centraal ke Parc du Cinquantenaire, area perkantoran penuh kendaraan

Pukul 13:30an akhirnya dengan sisa-sisa tenaga yang ada kami sampai juga di Parc du Cinquantenaire, Suamiku bilang, “kita sholat dulu ya, nanti baru istirahat duduk-duduk di taman”. Lokasi masjidnya berada di sisi barat laut taman. Dari kejauhan kami bisa melihat bahwa masjidnya besar sekali. Sungguh megah! Aku langsung tertegun dan terpana, “bagaimana bisa masjid sebesar ini berdiri tegak di pusat kota benua Eropa? Di dalam taman kota pula?”. Sungguh mengherankan.

Grand Mosque dari kejauhan

Saat kami masuk masjid, iqomat sedang dikumandangkan. Di depan pintu masjid ada seorang pengurus masjid yang berdiri di depan. Tas suamiku diperiksa karena dia membawa tas punggung. Pemeriksaan keamanan. Beberapa laki-laki juga baru datang, untuk mendirikan sholat zuhur. Awalnya aku sempat ragu, apakah aku boleh masuk? Kadang-kadang beberapa masjid hanya bisa diakses oleh laki-laki. Ternyata aku bisa masuk-masuk saja, tidak ditegur.

Kami masuk dengan wajah bingung. Sepertinya mas tadi tau kalau kami bukan warga lokal. Beliau langsung menghampiri kami dan menanyakan bahasa apa yang kami pakai. Sepertinya beliau ingin mengomunikasikan sesuatu. Kami bilang kami komunikasi dengan bahasa Inggris. Lalu, beliau memberitahu kami area-area di dalam masjid. di Ground Floor ada area kecil untuk sholat, baik untuk laki-laki dan perempuan. Kiranya kami ingin sholat ‘cepat’. Area wudhu laki-laki juga ada di lantai ini. Untuk area wudhu perempuan ada di lantai 2, termasuk area masjid utama yang besar untuk laki-laki. Tempat sholat utama yang cukup besar untuk perempuan ada di lantai 3.

Aku naik ke atas untuk mengambil air wudhu. Di dalam area wudhu ada toilet juga, dan aku intip: ada bidet! Huhu terharu sekali!

Selesai berwudhu, aku langsung naik ke atas. Aku memutuskan untuk sholat di area sholat utama ketimbang di area kecil di lantai dasar. Toh sedang tidak buru-buru juga dan siapa tau masih bisa ikutan sholat berjamaah.

Masuk ke area utama di lantai dua, ada sekitar 8 orang muslimah yang sedang berdiri mengikuti sholat berjamaah. Aku langsung buru-buru masbuk.

Suasana di dalam masjid. Begitu megah nan syahdu

Kukumandangkan takbir pertamaku, tak terasa air mataku mengalir. Mengalir deras tidak terhenti. Perasaan apa ini? Sambil membaca ayat-ayat suci aku sedikit tidak fokus, aku kenapa? Mengapa aku menangis sebegininya? Aku menangis tersedu-sedu, sesegukan sampai bahuku naik turun. Aku sedikit tidak fokus karena berpikir, apa yang dipikirkan orang lain melihatku menangis tersedu-sedu seperti ini.

Rupanya aku masbuk di rakaat terakhir. Jadi aku melanjutkan sholatku sendiri. Dan air mataku masih terus mengalir deras. Sudah tidak jelas lagi pandanganku karena aku memakai masker, basah semua.

Selesai sholat wajib aku langsung berpindah tempat dan mendirikan sholat sunnah ba’diyah. Masih juga aku menangis.

Aku baru sadar, aku rindu! Aku merindu pada Tuhanku!

Semenjak pandemi mulai di Maret 2020, sampai akhirnya aku pindah ke sini, aku tidak pernah sholat berjamaah di luar rumah. Aku hanya sholat berjamaah di rumah bersama suamiku. Beberapa kali aku datang ke masjid, tetapi aku sholat sendiri. Karena aku datang di luar jam awal sholat, jadi tidak ada sesiapa lagi.

Kemarin itu adalah pengalaman pertamaku lagi sholat berjamaah di luar rumah, di dalam masjid. Bersama jamaah lainnya.

Aku rindu sekali, Ya Tuhanku! Aku rindu berada di tengah-tengah mereka, bersama-sama mengumandangkan takbir. Mengagungkan nama-Mu!

Masjid ini juga begitu megah, penuh keterharuan buatku bisa mendirikan sholat di masjid ini. Ia telah mengizinkan kami untuk mengunjungi rumah-Nya. Mendirikan sholat di dalamnya. Menjadi jamaah sholat di dalamnya.

Ia kuatkan kami menempuh perjalanan di bawah terik matahari dan terpaan dahaga di bulan Ramadan.

Sungguh, ini berkah dan rahmat bulan Ramadan yang sangat menyentuh hatiku.

Keluar masjid, suamiku sudah menungguku di depan pagar. Aku yang sudah tenang, menangis kembali. Aku rasa aku selama ini memendam semua rasa rindu ini, supaya tidak lemah dan putus asa. Kukubur dalam-dalam dan sering kutepis segala perasaan melankolis. Supaya aku kuat, mungkin begitu maksudnya. Tapi, aku manusia lemah. Perasaan ini muncul dengan sendirinya, maka hanya tangislah yang kubusa,

Alhamdulillah. Atas izin-Nya aku bisa kembali melaksanakan sholat berjamaah di rumah-Nya.

Semoga kita semua bisa beribadah dengan tenang, khusyu’ dan nyaman di mana pun kita melaksanakannya, Aamiin.

Ramadan Mubarak!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s