Aku sudah merantau lebih dari setengah hidupku. Di usia 14 tahun aku dikirim orangtuaku ke Bandung untuk melanjutkan SMA di sana. Waktu itu orangtuaku masih bertugas di Lampung. Walaupun di Bandung aku tinggal di rumah (Alm.) Nenekku, bersama om, tante, sepupu-sepupu, juga kakakku. Tetap saja aku merantau.
Sebelumnya aku ini cengeng, susah sekali berjauhan sama Ibu Bapakku. Kalau lagi lebaran, kakakku sering lebaran di Bandung saat orangtuaku lebaran di Lampung. Sekali waktu aku pernah dikirim juga berlebaran di Bandung. Baru hari kedua aku sudah menangis minta pulang. Homesick bahasa gayanya. Jadi pengalaman aku merantau saat SMA itu adalah sebuah batu loncatan yang luar biasa. Walau masih tinggal bersama Alm. Nenek, banyak hal yang harus kuurus sendiri dan banyak pendewasaan emosi yang terjadi.
Tetapi, sebagai anak Indonesia yang besar di luar Ja(wa)karta, sepertinya merantau itu lumrah. Untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Mengejar pendidikan terbaik. Karena, sayangnya, di Indonesia ini sekolah dan universitas yang bagus hanya ada di beberapa kota besar. Bahkan umumnya berpusat di Pulau Jawa.
–
Setelah itu aku kembali merantau untuk melanjutkan S2 di Belanda. Merantau keluar negeri bahkan pindah benua. Heran sebenarnya kok dulu berani ya? Belum pernah ke Eropa, terus anaknya cengeng dan penyakitan, tapi bisa-bisanya berangkat ke Belanda sendiri. Barangkali dulu gejolak masa muda dan gairah mengejar mimpi masih begitu tinggi.
Setelah S2 langsung menikah, tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta. Apakah ini disebut merantau juga?
Entahlah.
Karena sejatinya sampai hari ini aku gaktau di mana itu rumah?
Sejak kecil selalu berpindah, karena mengikuti tugas orangtua. Kemudian menjadi anak rantau. Jadi sesungguhnya hati ini entah berlabuh ke mana. Orangtua pun karena berpindah-pindah akhirnya punya beberapa rumah. Dipikir akan stay di satu kota, akhirnya membangun rumah di situ. Lalu ternyata harus pindah, membangun rumah lainnya. Sekarang sudah menikah pun masih bingung. Suamiku kalau ditanya asalnya dari mana selalu jawab Bekasi, sedangkan aku masih jawab Bandung.
Jadi di mana rumahku?
–
Tahun 2020 kemarin jadi awal episode perantauan berikutnya bagiku dan suami. Kami pindah ke Liège, sebuah kota di selatan Kerajaan Belgia.
Merantau kali ini rasanya beda. Tidak seperti dulu waktu aku ke Belanda, penuh dengan excitement dan gegap gempita. YOLO, you only live once, sepertinya dulu begitu mottonya. Semua (yang masih dalam batas wajar) dilakukan. Segala trip dijalankan. Tidak ada keraguan dan ketakutan.
Kali ini tidak seperti itu.
Merantau kali ini kami seperti tidak lepas dan penuh pikiran.
Beberapa hal yang mungkin jadi beban dan pikiran:
- Kami merantau di saat pandemi. Berangkat dengan tidak banyak bertemu dengan sanak keluarga. Sepi. Berangkat dalam sunyi. Tentu saja perjalanan dilalui dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran.
- Di Liège tidak banyak
orangpelajar Indonesia. Di sini banyaknya diaspora (orang Indonesia yang menikah dengan warga lokal) dan usianya terpantau jauh dari kami. Kami bisa dibilang tidak punya komunitas di sini. Berbeda dengan sewaktu aku di Belanda, PPI-nya ramai dan aktif. Setiap hari tidak ada waktu untuk sendiri dan sepi. - Sebelumnya aku merantau either masih dekat dengan sanak keluarga atau kalaupun jauh aku tau itu untuk sebentar saja (misal: 1 tahun lebih saat ke Belanda). Tetapi, kali ini aku merantau jauh dan (insyaAllah) untuk jangka waktu yang cukup panjang.
- Kami sudah lebih dewasa dan merasa punya tanggung jawab. Saat ini usia kami sudah di atas 30 tahun, sebelumnya kami sudah punya pekerjaan yang stabil di Indonesia. Pindah ke sini, kami mulai dari nol lagi. Membangun hidup yang baru. Kami masih meraba-raba bagaimana harus settling down tanpa merogoh tabungan terlalu banyak. Bagaimana kami tetap bisa mengurus orangtua kami. Dulu waktu S2 mana ada pikiran seperti itu? Hanya ada aku, aku, dan aku. Rasanya tidak punya tanggung jawab. Uang beasiswa pun dipakai sendiri.
- Orang tua. Tentu saja ini jadi pikiran. Makin ke sini bukan kami yang bertambah tua, melainkan orang tua kami. Rasanya berbeda ketika dulu aku merantau waktu SMA atau waktu ke Belanda, orang tuaku masih gagah-gagahnya. Sekarang mereka mulai termakan usia. Jadi pikiran sekali.
Terkait poin 4, barangkali ini yang paling jadi pikiran. Selama kami di sini, kami kehilangan dua orang terkasih kami. Tahun 2021, Suami kehilangan ayahnya. Situasi (pandemi) begitu sulit saat itu sehingga tidak memungkinkan suami untuk langsung pulang dan berziarah. Butuh waktu beberapa bulan untuk suami bisa bangkit dan hidup normal lagi setelah kepulangan Alm. Ayahnya. Aku harus pintar-pintar juga menghibur dan tegak berdiri, karena tidak mungkin berjalan kalau dua-duanya kami goyah.
Tahun ini, aku kehilangan Alm. Nenekku. Beliau orang yang sangat berarti bagiku karena sewaktu SMA aku tinggal di rumah beliau. Beliau orang tua keduaku. Masa SMA barangkali masa paling pertama pencarian jati diri. Aku rasa adalah takdir yang tepat aku ditempatkan di rumah nenekku karena beliau sungguh lihai dalam membesarkanku. Aku banyak belajar skills kehidupan dari beliau, pun karena didikan beliau aku jadi pribadi yang seperti itu.
Lagi-lagi kali ini aku pun tidak bisa langsung pulang untuk berziarah. Sungguh, merasakan kedukaan dari jauh itu membingungkan. Kita kehilangan, tapi tidak juga. Karena dari jauh, kadang beberapa hal yang terjadi di Indonesia rasanya tidak nyata. Hanya seperti sebuah ceritera.
–
Hal-hal yang terjadi kadang membuat kami berpikir, apakah perantauan ini layak diteruskan?
Apa yang sebenarnya kami aku cari?
–
Biasanya aku yang cukup kuat dalam perantauan. Aku selalu bilang, aku sudah biasa merantau jadi ya memang harus siap dengan segala resikonya. Termasuk berjauhan dan tidak boleh cengeng. Hidup ‘sendiri’ sejak usia 14 tahun, aku sudah biasa menjadi “kuat”. Tetapi, momen kehilangan Alm. Nenekku membuatku goyang. Mempertanyakan semua ini dan memikirkan banyak hal.
Dalam kebingunganku, aku mengobrol dengan salah satu temanku. Dalam percakapan kami, ia menguatkan:
“Hidup terus berjalan. Kita memang punya tanggung jawab untuk merawat orang tua, juga membesarkan keturunan kita. Tapi, pada akhirnya kita hidup sendiri, dan mati sendiri juga. Kita pun punya tanggung jawab akan hidup kita sendiri. Penjaga yang paling kuat adalah Allah Swt, dan selemah-lemahnya yang bisa kita lakukan adalah saling mendoakan”
Waw sebuah pemikiran yang sungguh bule sekali, tapi benar juga.
–
Pada akhirnya kita harus bisa hidup dengan ikhlas. Tidak attached dengan apa-apa yang di dunia, walaupun itu adalah orang tua, anak, dan keluarga kita. Menjaga silahturahmi itu perlu, merawat orang tua itu baik jika bisa, membesarkan anak itu adalah tanggung jawab. Tetapi, kesemuanya harus dilakukan secara ikhlas dan tawakkal.
Dekat pun belum tentu baik. Dekat pun belum tentu sempurna. Karena tiada yang sempurna bukan?
Harus pintar-pintar menata hati dan menguatkan iman bahwa hanya Dialah Sang Penjaga Kehidupan.
–
Semoga kita semua dikuatkan. Dirahmati dengan segala kebermanfaatan di mana pun kita berada.