Beberapa waktu lalu terlibat dalam sebuah obrolan yang ringan tapi jadi bikin aku mikir, yaitu tentang rentang usia untuk memulai studi doktoral. Pembicaraan ini dipicu oleh fakta bahwa aku adalah mahasiswa doktoral paling tua di research group aku. Bahkan, saat ini, aku satu-satunya mahasiswa doktoral di groupku yang berusia di atas 30 tahun. Selain aku, rata-rata usia kolegaku sekitar 25-27 tahun.
Seperti kebanyakan mahasiswa doktoral asal Eropa lainnya, teman-temanku ini memulai studi doktoral langsung setelah mereka lulus master. Berarti saat mereka berusia 23-24 tahun. jadi tentu aja gak heran kalau banyak doktor muda, dan banyak akademisi yang bisa mendapat gelar profesor sebelum usia 40 tahun di Eropa. Kasus sepertiku ini sangat jarang, bahkan bisa dibilang unik di Belgia. Mungkin khususnya di sekitarku ya.
Gara-gara itu jadi muncul pertanyaan dari kolegaku, ‘kenapa fenomena ini terjadi?‘, ‘kenapa aku baru mulai studi doktoral pas aku udah ‘tua’?‘ (Hello, apa kabar bapak-ibu mahasiswa PhD yang baru mulai studinya saat usia di atas 40 tahun? Tepuk tangan dulu, atuh?)
Waktu itu awalnya aku jawab sekenanya, dengan bilang kalau ya emang gak umum di Indonesia untuk langsung lanjut studi doktoral setelah lulus master. Bahkan (kemarin-kemarin di masaku), langsung lanjut master aja gak usum. Tentu saja, jawabanku kurang memuaskan.
Setelah kupikirkan dan kuelaborasi lagi kayaknya jawabannya gini:
Di Indonesia, postgraduate study itu masih dianggap sebuah kegiatan yang kurang produktif dari segi ekonomi. Ya gimana, umumnya orangtua cuman ma(mp)u nyekolahin anaknya sampai S1, setelah itu ya dilepas. Harus bisa mandiri dan cari uang sendiri dong. Makanya kalau mau S2, harus bisa dapet beasiswa, apalagi di luar negeri. Kecuali keluarga kita berada di kelas ekonomi atas, barangkali orang tua kita masih mau membiayai studi lanjutan sampai S2.
Tapi, tentu saja buat lanjut S3 bukan perkara mudah dari segi ekonomi. Kayaknya jarang banget ada yang S3 bayar sendiri. Bayangin, minimal empat tahun ga ada penghasilan produktif di usia yang udah dibilang matang dan dewasa, itu gimana? Kalau S2 cuman setaun misalnya okedeh, anggep aja gap year yang produktif. Tapi, kalau S3? Belum tentu juga abis S3 langsung dapet kerjaan yang gajinya luar biasa.
S3, masih dianggep sebagai ‘sekolah’ aja. Beda gak kayak di Eropa, studi doktoral itu ya sebuah pekerjaan. Kita dapet gaji yang bersaing, pengalaman kita diitung jadi tiap tahun ada adjustment gaji, kita juga bayar pajak. Rasanya miris pas tau gaji mahasiswa doktoral di Eropa barat terus bandingin sama beasiswa studi S3 dari ….. Hebat banget yang bisa survive selama minimal empat tahun dan membawa keluarga. Tapi, insyaAllah Tuhan mampukan ya.
Makanya menurutku, kebanyakan orang Indonesia kalau mau S3 biasanya kerja dulu, supaya punya tabungan. Kalo-kalo, jaga-jaga. Apalagi kalau S2 dan S3-nya pake beasiswa yang nominalnya ngepas banget. Untuk orang-orang yang punya ‘kewajiban’ dan tanggung jawab untuk mengurus orangtuanya, kayaknya akan lebih memilih untuk kerja dulu supaya bisa segera gantian menanggung beban ekonomi keluarga ;’). Bayangin kalau sampai usia 28 tahun misalnya, apa gak ditanya “udah umur segini kok kamu belum jadi orang?”, karena cenah kerjaannya sekolah terus bukannya kerja.
Selain itu, lapangan pekerjaan lulusan S3 di Indonesia itu kan sedikit banget. Jadi dosen paling umum. Atau peneliti di badan riset yang (kayaknya) jumlahnya (masih) sedikit itu. Syarat jadi dosen di Indonesia juga ribet, apalagi kalau dosen PNS. Ada syarat umur dan prosedur ‘merangkak dari bawah’. Jadi seringnya orang-orang yang berangkat S3, mengamankan dulu posisi mereka di universitas tertentu di Indonesia, menyelesaikan kewajiban pertama mereka di institusi tersebut, sehingga pas selesai S3 mereka udah punya tempat yang menaungi mereka untuk berkarya. Sampai sekarang aku masih belum tau ada orang yang lulus S3 (di usia yang cukup matang) baru mulai daftar ke universitas negeri ternama di Indonesia dan diterima. Kalau ada, aku mau tau dong di mana?
Ada juga yang tadinya belum kepikiran S3 tapi karena jadi dosen yang syaratnya ujung-ujungnya harus S3, akhirnya baru S3 di kemudian hari. Jadinya studi doktoral cuman jadi syarat pengembangan karir, bukan serta-merta pengembangan diri dan pengembangan keilmuan (sok idealis). Apalagi kan di Indonesia, lulusan S2 bisa-bisa aja jadi dosen. Tapi, dengan degree S2 mungkin stuck karirnya di situ-situ aja. Untuk beberapa orang mungkin gakpapa karena stuck pangkat bukan berarti stuck di pendapatan. Proyek an banyak di mana-mana. Tapi, untuk sebagian lainnya butuh pengembangan karir di bidang akademik, maka akhirnya mau ga mau harus lanjut studi S3. Dan jadinya memulai studi S3-nya ‘telat’.
Dan faktor satu lagi, mungkin keluarga.
Karena S3 itu minimal empat tahun, dan biasanya orang-orang kalo abis lulus S1 yang ditanya ‘kerja apa? Kapan menikah?’, maka gak sedikit yang sebelum S3 cari jodoh dulu. Karena S3 kan lama ya, menyita waktu, apalagi di luar negeri mungkin lahan mencari jodoh yang seiman-sesuku-sefrekuensi-sekufu itu sulit. Maka ada juga yang memilih menikah dulu, punya keluarga yang settle dulu. Terus nanti dibawa deh buat nemenin S3. Ini juga yang kulakukan. Bukan perkara biar bisa sambil honeymoon, tapi kalo aku selain biar aku gak gila sendirian menghadapi terpaan S3 dan kebetulan aja momennya sekarang setelah menikah 6 tahun.
Sedangkan di luar negeri atau di Eropa, usia rata-rata menikah kan gak muda-muda amat ya. Dengan mereka yang abis lulus S2 langsung lanjut S3, mungkin kira-kira akan lulus maksimal usia 30 tahun. Yang mana menikah di atas usia 30 tahun itu masih acceptable dan lumrah. Kalau di Indonesia, walau udah mulai dinormalkan, tapi belum sepenuhnya juga kayaknya ya? Apalagi kalau perempuan apa gak dikomentarin, “kesenengan sekolah sih…” :)).
–
Ya begitulah pandanganku.
Ga mungkin bisa disamain juga. Gaji S3 di Eropa lumayan bersaing, eligible pula untuk bisa beli properti. Lapangan pekerjaan untuk S3, bahkan yang khusus mintanya S3 juga banyak dan kompetitif, jadi banyak juga yang lanjut S3 karena ngejer karir di bidang tertentu, bukan cuman dosen. Kalau semua orang di Indonesia punya kesempatan kayak gitu, kayaknya bakal lebih banyak yang lanjut sekolah sampai S3? (asal kuat hati dan mental)
Gimana pendapat teman-teman?
–
Tulisan ini pernah dipost di sini.
S3 di Belanda meski gaji dari univ (bukan beasiswa) masih terhitung underpaid ceunah Cha, mungkin dilihat dari workload yg juga berat. Gaji S3 sama gaji lulusan S1/S2 yg kerja di perusahaan lain nampak gak jauh beda😅. Trus emang ga ada gap gede antara gaji S3 sama misalnya unskilled labor, sama2 bisa afford beli rumah dan mobil juga, wkwk..
Makanya orang Londo mah kalo ada yg kerjanya PhD, anggepannya biasa2 bae, bukan yang wahh istimewa, kek kalo di Indo orang bisa Doktoral tuh wahh banget
LikeLiked by 1 person
Kalau ngomongin underpaid sama juga sih Mbak. Ada istilah di sini, katanya gaji PhD jangan gede-gede biar punya motivasi cepet selesai :)). Mungkin bedanya sama Belgia (at least di regionku) dari segi biaya hidup juga ya, jadinya gaji PhD di sini kerasa lumayan. Kalo aku bandingin gaji PhD sama lulusan S1/S2 yang umum di regionku masih ada gap juga.
LikeLike
Disini S3 juga masih dipandang redundant. Karena S1 dan S2 biasanya direnteng, jadi rata2 lulusan dari universitas disini menyandang gelar S2, dan itu yang banyak dipakai dimana2 (lulusan S1 teramat sangat sedikit).
Stigma S3 juga biasanya kepada orang2 yang super nerdy, atau yang ngga dapet kerjaan (haha!) jadi balik ke sekolah lagi. Aku kurang tau sih gaji akademis S3 berapa, tapi juga keknya dibawah rate market, juga kalaupun lulus banyak perusahaan yang kurang yakin ambil S3, karena dianggap ketinggian.
LikeLiked by 1 person
Stigma S3 itu super nerdy kayaknya di mana-mana ya ;D, tapi di sini aku baru ketemu sih temen-temen S3 yang ‘normal-normal’ saja. Soalnya kalau di kampusku S3 itu kayak kerja biasa aja, ada yang bekerja ke industri, ada yang bekerja di kampus. Dan makin ke sini makin banyak industri yang requirement-nya S3, setiap awal tahun ada jobfair khusus gitu untuk pekerjaan di Eropa yang memang diperuntukkan untuk lulusan PhD/Post Doc.
LikeLiked by 1 person