Tentang Kopi.

Aku bukanlah penikmat kopi. Kalau ditanya minuman kesukaanku, jawabannya adalah: air putih. Praktis dan murah. Terlebih di Eropa ini air putih tinggal minum dari keran. Well, not necessarily true. Karena di tempatku mesti pake filter air lagi, but I hope you get the point. Dulu sekali aku pernah mencoba kopi. Tapi, aku tidak suka. Pait. Aku cukup heran, kenapa sih orang suka kopi kan rasanya ga enak? Masih mending susu coklat, ada rasa coklat dan kadang manis. Tapi, aku suka permen kopiko. Haha, aku juga heran dengan diriku sendiri. Intinya sampai beberapa waktu belakang aku belum bisa menikmati kopi.

Namun, belakangan ini aku agak tertarik mengonsumsi kopi. Barangkali karena aku hidup di sini ya, di mana semua orang minum kopi kapan pun di mana pun! Lagi-lagi, walaupun aku gak suka minum kopi, tapi aku suka menghirup wangi kopi. Intriguing! Kalau lagi di kantor terus para kolega pada minum kopi, jujur aku sedikit kabita. Kayaknya enak dan bikin segar! Cènghar kalau bahasa Sundanya. Aku bahkan menaruh bulir-bulir kopi di beberapa cup kecil di apartemenku untuk menetralisir bau-bau tak sedap (read: bau masakan khas Indonesia).

Kalau kata salah satu kolegaku, selama studi doktoral pasti kita akan membangun sebuah kebiasaan atau adiksi baru. Dia cerita, kalau dia memulai adiksinya pada minuman bersoda alias soft drink ketika ia sedang menjalani studi doktoral. Sejak saat itu, tiada minuman lain yang bisa ia konsumsi saat bekerja dan saat makan selain soft drink.

Aku rasa aku bisa cukup memahami kisah tersebut. Sewaktu aku mengerjakan thesis S2-ku, aku juga membangun sebuah adiksi, yaitu hot chocolate. Pada saat itu, aku mengerjakan thesisku di musim dingin, dan coklat panas jadi pelarianku dari udara winter yang sangat dingin. Terlebih harga minuman coklat panas di vending machine kampusku sangatlah murah. Aku lupa tepatnya berapa, tetapi kurasa tidak bikin aku tekor. Bahkan, kalau aku sedang mengerjakan thesis bersama temanku yang mahasiswa doktoral, aku bisa dapat coklat gratis! Iya, salah satu fasilitas yang diberikan oleh kampusku pada saat itu kepada mahasiswa doktoral dan stafnya adalah: free flow minuman dari vending machine. Ketergantunganku pada coklat panas juga didasari oleh kemalasanku untuk mencari makan saat aku mengerjakan thesis di perpustakaan. Menyiapkan bekal tentu bukan prioritas. Pergi keluar sejenak untuk cari makan yang halal dan baik untukku sungguh menghabiskan waktu. Saat itu kupikir lebih baik waktuku kuhabiskan untuk nesis dibanding sibuk cari makan. Walhasil sehari-hari aku ‘hanya’ makan 1 bungkus oreo atau beberapa bungkus knoppers + bergelas-gelas hot chocolate untuk mengisi perutku.

Sebuah adiksi yang tidak kubanggakan karena sungguh tidak sehat. Tetapi, berhasil membuatku naik berat badan sampai 10 kilogram dalam sebulan! Aku yang susah sekali naik berat badan seumur hidupku saat itu bisa mencapai angka hampir 60 kilogram! Tidak sehat dan sungguh, badan rasanya jadi berat untuk bergerak.

Dari situ aku berusaha menahan untuk tidak membangun kebiasaan atau adiksi tidak baik di studi doktoralku. Setiap hari selama dua tahun ini aku selalu membawa bekal dari rumah yang simpel saja (read: makanan sisa kemarin). Juga aku bawa susu non-dairy dan pisang sebagai snack. Sungguh sehat, bukan?

Tetapi, wangi kopi yang tercium di setiap koridor gedung fakultasku sungguh menggiurkan!

Aku masih bertahan untuk tidak ikut-ikutan minum kopi karena di kampusku sekarang tidak ada diskon atau gratis kopi dari vending machine untuk mahasiswa doktoral. Harga kopi di mesin seharga harga kopi normal di coffee shop, sekitar 2-2.5euro. Aku merasa sayang saja mengeluarkan uang walau sedikit ‘hanya’ untuk minum kopi. Apalagi kalau jadi adiksi, bisa tekor aku! Aku berusaha bertahan dengan minum air putih saja setiap hari yang tersedia gratis di dispenser gedungku.

Salah satu alasan lain yang tidak penting dari keinginanku minum kopi adalah: kok kayaknya gaya ya ngeliat orang yang bawa coffee cup gitu?

Sungguh alasan yang sangat childish dan… norak. Tapi, beneran deh. Kayak chic aja gitu, tinggal di Eropa terus minum kopi. Sungguh seperti Parisien.

Aku sempat mengutarakan keinginanku ini untuk mencoba kopi lagi kepada suamiku. Saat ia menanyakan alasannya kenapa, dan aku menyampaikan poin terakhir di atas, dia langsung tidak setuju. Katanya: ‘alasan macam apa itu?!’. Haha, tapi bener sih alasan yang terakhir sungguh ga penting. Terlebih dia mengingatkanku kalau aku punya riwayat GERD, dan kopi tidak baik untuk lambung. Jadi dia mewanti-wanti agar aku hati-hati dengan keinginanku.

Sampai saat di Indonesia kemarin, aku dan suamiku pergi ke sebuah outdoor cofee shop di Bandung Utara (on a side note: ada banyak sekali coffee shop baru di Bandung! Sungguh menjamur @.@). Suamiku menawarkan aku ‘mau ga minum kopi?‘. Dia bilang bisa coba segelas berdua, kalau-kalau aku ga suka atau ga kuat. Suamiku sendiri bukan pengonsumsi kopi, tapi dia bisa minum kopi. Jarang-jarang ditawarkan, akhirnya aku iyakan! Waktu itu ia pesankan: es kopi susu gula aren. Ia bilang sebagai pemula sebaiknya jangan langsung minum kopi hitam, baiknya minum kopi dengan campuran susu dan dikasih gula. Baiklah.

Saat pesanan kami datang, aku langsung menyeruput es kopinya! Dan ternyata: aku bisa menikmatinya! Rasanya seperti kopiko! Aku sudah bilang bukan, kalau aku suka kopiko? Saat itu aku berhasil meminum setengah gelas kopi susu gula aren yang kami pesan. Sebenarnya mungkin bisa-bisa aku menghabiskan satu gelas sendirian, tapi aku rasa sebagai percobaan pertama baiknya aku jangan minum banyak-banyak dulu. Takutnya ada efek samping ke lambungku, terlebih susu yang digunakan adalah produk dairy, yang mana sudah beberapa tahun ini ga aku konsumsi.

Aftermath setelah beberapa jam dan beberapa hari minum kopi, ternyata tidak ada efek samping yang kurasakan. Aku biasa-biasa saja, Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa mengatakan kalau aku bisa minum kopi, hehe.

Tetapi, setelah pengalaman kemarin apakah aku mau jadi pengonsumsi kopi? Rasanya belum. Aku sejauh ini masih lebih suka hot chocolate dibanding kopi, apalagi hot chocolate dengan slagroom atau whipped cream, nyam! Aku masih jauh lebih memilih air putih dibanding kopi. Tetapi, kalau-kalau suatu saat aku butuh minum kopi (untuk sosialisasi atau begadang misalnya?), barangkali aku mau coba.

Tentang kopi ini, aku rada senang kepada diriku sendiri yang sampai hari ini di usia segini masih mau mencoba hal baru (atau dalam kasus ini: memberikan kesempatan kedua kepada suatu hal).

Kemarin aku buka-buka pinterest untuk belajar jenis-jenis kopi, hm menarik juga ya dunia perkopian ini! Ada rekomendasi jenis dan merk kopi atau coffee shop yang mesti kucoba?

foto dari sini

3 thoughts on “Tentang Kopi.

  1. Aku di kantor ada free flow machine, dan juga ada cafe di lantai bawah kalau kurang puas dengan kualitas kopi dari mesin. Ya tentulah disini orang minum kopi udah kek minum air, tapi memang aku sendiri lebih banyak minum teh daripada kopi (asam lambung).

    Kalaupun aku ngafe, biasanya aku lebih pilih flat white, atau double espresso, karena memang kurang suka yang manis2, kalau bisa getir dan pahit, seperti hidup hahahaha

    Liked by 1 person

    • Sungguh belum bisa bedain capuccino, latte sm flat white :)) Tapi double espresso gapapa MBak ke lambung? Haha katanya gitu ya, minum kopi sebagai simulasi kegetiran hidup :))

      Like

      • Kalau double espresso kan minumnya ngga sering2, tapi klo di kantor kan orang minum kopi macem minum air 🙂

        Flat white itu lebih banyak espressonya daripada capuccino dan latte, jadi lebih pait dan sizenya lebih kecil.

        Liked by 1 person

Leave a comment