Dua hari ke belakang aku sedang mengurus administrasi perihal reimbursement biaya perjalanan konferensi pekan lalu. Ini kali kedua aku mengikuti konferensi, namun ini sudah kali kesekian aku mengurus reimbursement untuk biaya perjalanan. Sebelumnya beberapa kali sudah pernah untuk urusan summer school.
Sambil mengisi beberapa form, aku menelusuri kotak pesan elektronikku untuk melihat history percakapan yang lalu. Banyak sekali pesan yang kukirim ke kolegaku ‘hanya’ untuk bertanya tentang bagaimana melakukan sesuatu? Bagaimana mengurus ini-itu? Kepada siapa aku harus berbicara untuk urusan ini-itu?
Sampai hari ini aku masih belum otomatis melakukan banyak hal dalam pekerjaanku. Banyak catatan yang bolak-balik kubuka, pesan yang berulang kali kubaca, sebagai panduan dari masa lalu. Tapi, yang kusadari juga: aku belajar banyak sekali. Aku sudah bisa beberapa hal juga. Dan dua tahun berlalu, aku sudah bisa membantu beberapa kolega baru yang juga kebingungan akan hal yang sama.
Lucu juga kalau dilihat sepertinya dulu aku annoying sekali ya kepada kolegaku, karena dikit-dikit nanya, sudah dijelasin ga langsung ngerti juga. Tapi, pelan-pelan belajar, makin banyak pengalaman, oh rasanya cukup senang melihat diriku berkembang.
–
Aku memasuki tahun ketiga studiku dengan perasaan tidak lapang dan cemas. Rasanya sudah dua tahun berlalu kok aku belum ada apa-apanya? Perasaan inferior dan tidak cukup yang memang selalu ada di jati diriku ini diperparah oleh beberapa faktor:
- Komentar salah satu committee member-ku di thesis committee meeting terakhir bulan Juni lalu. Beliau bilang kalau aku kurang ambisius dalam risetku. Maksudnya aku terlalu lambat.
- Menghadiri berbagai summer school dan konferensi lalu bertemu dengan PhD students lainnya terutama yang seangkatan, lalu melihat progres yang telah mereka lakukan.
Kedua hal tersebut bikin aku ketar-ketir, karena jujur saja iya selama 7 bulan ke belakang hampir praktis aku tidak ‘melakukan apa-apa’ pada risetku. Sibuk dengan perkuliahan yang harus aku ikuti (beserta tugas dan project-nya yang membuatku begadang berminggu-minggu), sibuk dengan tugas mengajarku (beserta tetek-bengek drama dan administrasinya), dan tentu saja sibuk dengan urusan personal (e.g., perpanjangan residence permit, urusan cari dan pindah rumah, dan lain sebagainya).
Tapi aku (dan supervisorku) bolakbalik mengingatkan diriku bahwa perjalanan ini bukan tentang membanding-bandingkan. Karena tantangan setiap orang tentu akan beda. Poin pertama di atas sejujurnya bisa kubantah dengan berbagai alasan, tapi aku ga perlu lah mengelaborasikannya di sini karena untuk apa? Jadikan saja poin tersebut sebagai motivasi. Satu tahun lagi (atau kurang mungkin di kesempatan lainnya?) saat kita akan ketemu lagi, semoga aku bisa menunjukkan bahwa aku cukup punya motivasi, ambisi, dan kemampuan untuk maju dengan jauh lagi. Semoga Allah mampukan.
–
Di satu sisi aku juga merasa aku telah menapaki sedemikian tangga di perjalananku, sehingga rasanya aku cukup naik kelas juga? Semoga ya.
Satu bulan terakhir aku kembali meraba-raba tentang risetku (karena sudah lama sekali ditinggal) dengan membaca lagi semua catatanku dan literatur penting. Membaca semuanya untuk kesekian kalinya, aku selalu saja punya perspektif baru dan pemahaman baru (dan tentu saja pertanyaan baru). Belajar lagi, belajar terus. Dengan segala macam informasi dan pengetahuan yang kukumpulkan selama dua tahun terakhir, ada banyak hal baru dan pandangan yang berbeda yang muncul ketika aku membaca hal yang sama. Sesuatu yang aku dapatkan dari hasil belajarku dua tahun belakang.
Tentu saja tidak semua ilmu baru itu terendap dengan baik di otakku yang kapasitasnya kecil ini, tapi samar-samar aku merasa ‘oh ini seperti yang kupelajari di kuliah yang waktu itu ya? Aku ingat!’. Oh begini ya rasanya melakukan sintensis atas segala hal yang telah diserap. Rasanya mindblowing. Rasanya kadang ga percaya kalau manusia sepertiku punya kemampuan dan kapasitas untuk itu semua.

Aku tentu tidak bisa jadi serta-merta berpuas diri. Karena perjalanan ini masih panjang, terjal, dan menantang. Tapi barangkali, menilik ke belakang dengan sudut pandang ini bisa bikin aku ga terlalu menghukum diri sendiri, juga bisa bilang kalau iya aku lambat, tapi aku tetap maju tidak berhenti.
–
Aku jadi teringat salah satu kalimat yang disampaikan oleh seorang profesor yang kutemui di konferensi kemarin. Saat itu kami sedang ngobrol basa-basi saja karena pasalingsingan pada saat mengantri minuman. Sebelum menutup percakapan ringan itu, beliau memberi pesan sebagai berikut:
“Enjoy your PhD. that is the best time of your (academic) life. It is the only time you can dig really deep into your topic, and that’s the beauty of research. Once you’re done and enter the professorship, you can no longer do that. You will have too many projects at the same time, and finally you can only see everything from the surface.“
Oh terima kasih! Akan aku jaga erat-erat sebagai semangat.
Pingback: Wawasanku sebagai Mahasiswa Doktoral Tahun Ketiga | Slice of Life