Adulthood – from my side.

Tulisan ini lahir dari sebuah celetukan sederhana dari seorang kawan lama yang sudah beberapa masa tak jumpa. Seperti biasa kami saling bertanya kabar saat jumpa, dan tentu saja aku si yang suka malas menjawab pertanyaan yang kerapkali basabasi ini hanya menjawab seadanya, “yaa gitu-gitu aja”. Seketika, temanku ini menanggapi mungkin sekenanya tapi ternyata kena sekali untukku, “yah, masa gitu-gitu aja. maju dong”.

Di situ aku diam, dan tercenung.

Apakah selama ini aku diam dan stagnan? Tidak ke mana-mana?

Apalagi dibanding sang penanya mungkin hidupku memang tidak ke mana-mana. Tidak ada yang bisa diceritakan. Tidak ada yang terlalu menarik untuk dibagikan. Setelah itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan kehidupan. Mulai merasa insecure ditambah mengingat dan melihat teman-teman yang sudah melanglang buana. Pergi ke sana ke mari dengan gaji sendiri. Mulai berbondong-bondong pula kembali melanjutkan sekolah seperti yang dulu aku sudah. Atau menikah. atau berceritera tentang anak dan pekerjaan yang dicintainya. Atau tentang hobi yang kini menjadi sumber penghasilan. Dan segala bentuk pencapaian lainnya yang terlihat, tangible — dalam kata lain: bisa dibicarakan atau dijabarkan.

Sedang aku, ya memang begini-begini saja. Tidak ke mana-mana. 

Menyelesaikan satu demi satu capaian harian yang kubuat untuk diriku sendiri. Iya, capaianku sesederhana dari hari ke hari. Karena ternyata, kadang hidup ini terlalu rumit untuk dibuat menjadi muluk-muluk. Menjalani hal-hal yang tidak terlalu bisa diceritakan, hanya bisa dirasakan. Menilik sedikit ke hari-hari yang kujalani, rasanya lucu sekali ketika aku tiba-tiba merasa semuanya jadi tidak bermakna hanya karena sebuah celetukan sekenanya. Karena sesungguhnya, kali ini aku sedang benar-benar menikmati masa. Walau hidup ternyata memang tidak pernah selalu sempurna, tetapi saat ini aku benar-benar mensyukurinya.

Baru beberapa hari sebelumnya aku dan suamiku merefleksikan kehidupan. Atas satu demi satu tapakan yang kami jalani bersama dan perlahan kian pasti kami mendaki, entah untuk mencapai puncak yang mana. Setiap harinya kami saling menceritakan sesuatu hal yang telah kami selesaikan. Dengan bangga kami kerjakan. Dengan bahagia kami lakukan. Tanpa kami sadari, diam-diam kami menikmati dan mencintai yang kami jalani. Dengan segala hal yang kadang tidak sesuai dengan hati, atau impian yang diam-diam masih kami simpan dan usahakan, kami paling tidak melakukan sesuatu yang sejalan dengan panggilan jiwa.

Lalu mengapa aku menjadi merasa inferior? Mengapa kita sering merasa inferior apakah hidup selalu tentang berlari?

Beberapa waktu ke belakang, aku banyak berbincang dengan sahabat terdekat — tentang kami yang ternyata sama-sama overthinker dan mudah sekali merasa insecure. Terutama jika membandingkan diri ini dengan rekan sejawat lainnya, terlebih jika membandingkannya melalui media yang begitu besar tingkat ke-bias-annya — media sosial tentu saja. 

Dalam sebuah obrolan dengannya, terdapat sebuah kesimpulan yang kusampaikan padanya yang kurang lebih isinya demikian (dengan berbagai saduran karena percakapan aslinya tidak sedetail ini — apalah aku yang kadang malas mengetik di sebuah pesan singkat — karena pesan pada dasarnya haruslah singkat haha):

Aku mendefinisikan kehidupan orang dewasa ini sebagai sebuah fase kehidupan yang kita semua jalani setelah menuntaskan wajib belajar 16 tahun (singkatnya: sampai lulus S1). Setelah lepas masa itulah, kita semua berpencar. Mencari jati diri. Mengejar hal yang berbeda-beda. Tidak lagi kesuksesan dipatok menjadi satu definisi ‘pencapaian akademis’. Sesuatu yang mudah sekali diartikan dan diukur. 

Tapi, di kehidupan orang dewasa ini, sukses kini banyak sekali artinya: sukses menikah sebelum umur sekian, sukses bekerja di perusahaan besar, sukses menjadi seorang wanita karir, sukses menginjakkan kaki di sekian negara sekian benua, sukses mendapatkan beasiswa, sukses menjadi seorang ibu yang memiliki anak begini, sukses menjadi philantrophist, sukses ini sukses itu.

Everyone is in the state of achieving something. Kita yang masih sama-sama mencari dan perlahan-lahan menemukan. Aku yang kebingungan. Semua orang mengejar, mencapai, sesuatu yang berbeda-beda. Sehingga diri ini pada akhirnya selalu merasa kurang. Padahal bisa jadi, jika dilihat dari kacamata orang lain, we achieved something. We have something that they dont or even they envy — and of course vice versa. 

Dalam dunia orang dewasa yang penuh bias ini, standar bahagia dan syukur bisa dengan mudah sekali bergeser hanya karena lihat orang lain. Sedetik lalu bahagia karena baru saja diskusi mendalam dengan mahasiswa yang mengisi jiwa, sedetik kemudian nelangsa karena lihat teman habis jalan-jalan ke mana di hari kerja. 

Pada akhirnya, di dunia orang dewasa ini harus pintar-pintar mengingat untuk selalu melihat segalanya dari sudut pandang yang lain — dari segala sisi yang mungkin. Terlebih lagi, di fase ini tidak ada standar waktu baku atas cepat atau lambatnya sebuah pencapaian. Karena sebenarnya — dari dulu pun — semua orang hidup dengan waktunya masing-masing. Kita saja, yang terlalu pintar untuk selalu membuat standar.

I am now 27 yo, apakah pada umur sekian aku harus mencapai A B C D, sudah ke E F G H, menjadi I J K L?

Sebuah percakapan lainnya kudapatkan dengan seseorang yang menjadi panutan. Tentu saja ia bertanya kabar, dan tentu saja kujawab seperti biasa: “ya begitu-begitu saja”.

And the answer was relaxing:

“Take your time to enjoy what you are doing. The days are long, but the years are short. You are doing great, do not rush that you may ruin what you’ve built.”

Di situ aku menyadari. Kita — aku sih — si milenial ini adalah orang yang tidak sabar. Dengan bantuan media sosial yang membombardirku dengan segala definisi kesuksesan dan pencapaian yang mungkin kuraih, rasanya aku jadi kemaruk. Ingin semua di waktu yang bersamaan — dan secepat-secepatnya. Padahal ingin berlomba dengan siapa sih? Pada akhirnya, kompetitor terbesar kita toh adalah diri kita sedetik yang lalu. Dan sebagai bentuk ketidak-tergesagesa-an adalah, kuyakinkan bahwa aku tidak harus selalu lebih baik dari hari kemarin — tetapi paling tidak aku tidak lebih buruk dari itu.

Sekali waktu aku terpikir tentang bagaimana orang-orang yang kini sudah cukup berumur (let say 40 something) dan selama usia kerjanya mengabdikan dirinya di perusahaan yang sama. Menapaki hari demi hari satu demi satu kepingan kehidupan, yang mungkin “begitu begitu saja”. Apa yang kemudian dikejar? Apa yang kemudian dijadikan pencapaian? Apa yang diartikan sebagai kesuksesan? Tentang ia yang baru saja merayakan 20 tahun pengabdian di perusahaan X. 30 tahun pengabdian. Pengabdian emas. Apakah pada waktu itu kita harus menjadi sesuatu di puncak kejayaan. Di manakah puncak kejayaan itu? Menjadi bos? Memiliki gaji sekian digit? Atau sekadar hidup damai dan bahagia. Betapa hidup di dunia orang dewasa tidak bisa dengan mudahnya kita ceritakan dengan kata-kata atau hitung dengan angka-angka. 

Ketenangan dan kesabaran yang sepertinya tidak selalu aku miliki. Rasa untuk menghargai langkah-langkah kecil yang seringkali tidak terdefinisi, tidak terukur, dan tidak terlihat. Inginnya selalu punya sesuatu yang bisa dibagikan, dibanggakan, dan diceritakan. Tentu bukan tidak bisa — tetapi tidak harus selalu.

Menjadi orang dewasa ternyata tentang bagaimana menikmati, mensyukuri, capaian-capaian kecil yang tidak selalu harus bisa diceritakan. Tidak selalu harus dibagikan. yang kadangkala hadirnya untuk hati saja, bukan untuk mereka. Tentang bagaimana mensyukuri sukses yang tidak selalu grande, dan ‘dipamerkan’ dalam bentuk foto-foto. bisa jadi ia hadir untuk diamini di malam hari – sendiri saja. 

Dan sebagai penutup atas sebuah pikiran yang sederhana namun kok ya jadi panjang dan agak membingungkan ini, akan kubagikan sebuah kalimat yang disampaikan seorang sahabat lainnya pada sebuah percakapan penuh makna malam itu, 

At the end, you can have it all. but, not all at once”

Take (y)our time.

Tulisan asli diterbitkan di sini, empat tahun yang lalu.

Advertisement

2 thoughts on “Adulthood – from my side.

  1. As long as you are happy with your life.

    Happiness itself isn’t easy to achieve, it’s elusive. As long as you are happy where you are now, don’t think about what others think. (Temen2 kamu mungkin pengen kaya kamu juga, who knows? Namanya manusia, grass is always greener on the other side)

    But yes, that’s a part of an adulting process 🙂

    Like

  2. Yes, most of the times I feel like I am okay and content with my life. But, when people ask about my life, my decision, I start to questioning too. Haha, mungkin deep down masih ada insecurities juga yang belum hilang yah.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s