Pengalamanku ini mungkin gak akan relevan untuk masa-masa depan (aamiiin), tapi akan tetap kutuliskan di sini sebagai kenangan.
–
Salah satu keputusan penting saat mempersiapkan keberangkatan adalah: mau naik maskapai apa. Beberapa pertimbangannya:
- Harga. Tentu saja. No debate.
- Jumlah transit dan durasi perjalanan. Gak pandemi aja, kami males. Apalagi pandemi. Mencegah lelah, mencegah kemungkinan tertular juga.
- Bagasi allowance. Karena ini pindah bukan liburan, kami mau yang allowance bagasinya cukup.
Dan karena pandemi, kami punya satu pertimbangan tambahan: syarat negatif PCR. Walau ya untuk naik pesawat, biasanya syarat ini untuk 72 jam sebelumnya, dan gak ada yang tau selama 72 jam itu bisa jadi ada new infection di salah satu penumpang, tapi ini bentuk ikhtiar kami.
Dari semua maskapai yang memberikan layanan penerbangan Jakarta-Brussels, pilihan kami mengerucut ke Emirates dan Etihad. Karena hanya dua maskapai itu yang cukup terjangkau, durasi penerbangan masuk akal, cuma sekali transit, dan mewajibkan negative PCR result.
Tapi, akhirnya kami pilih Etihad karena saat itu Emirates mensyaratkan calon penumpangnya untuk tes PCR di lembaga kesehatan yang ditunjuk. Kalau Etihad bisa di mana saja. Waktu itu di Bandung, untuk syarat ke Emirates pilihannya cuma di Prodia. Prodia saat itu punya masalah karena hasilnya cukup lama keluarnya. Padahal kami mau tes satu hari sebelum penerbangan. Selain itu, waktu kami berangkat, belum ada aturan penyamarataan harga tes PCR di Indonesia. Biaya tes PCR di Prodia Bandung waktu itu cukup mahal (sekitar dua juta rupiah).
Akhirnya kami memilih Etihad dan melakukan tes PCR di RSHS Bandung.
–
Pengalaman kami naik Etihad
Hal pertama yang kami notice, Etihad sangat ketat dengan syarat negative PCR result. Jadi syaratnya itu kita harus tes maksimal 72 jam sebelum keberangkatan. Atau lebih baik lagi, 72 jam dari waktu ketibaan di UAE. Karena yang mensyaratkan negative PCR result itu adalah pemerintah kerjaaan UAE, bukan maskapainya. Jadi kalau bisa, saat kita tiba untuk transit di UAE PCR result kita masih valid. Makanya aku memilih untuk tes satu hari sebelum penerbangan.
Waktu kami check in di Bandara Soetta, ada calon penumpang yang ditolak naik karena dia salah mengerti tentang durasi 72 jam ini. Dia pikir 72 jam dari sejak hasilnya keluar. Akhirnya beneran lho dia gak bisa berangkat dan disuruh tes dulu. Tapi, kalau gak salah calon penumpang gak akan kehilangan tiketnya banget sih. Ada aturan tentang claim ticket terkait negative PCR result ini.
Selanjutnya di pesawat sepiiii sekali. Kayaknya isi penumpangnya cuma 30 orang. Mungkin juga saat itu kami terbang di masa penerbangan belum banyak diperbolehkan (denger-denger pengalaman teman yang terbang di tahun 2021, katanya pesawat dan bandara sudah mulai penuh). Penumpang dijarak per satu kursi. Kalau satu keluarga atau bubble boleh sebelahan. Karena pesawat sepi, kita diperbolehkan pindah ke kursi lain asalkan melapor ke awak kabin kiranya area duduk kita terasa cukup ‘padat’. Dan pastikan nomor kursi yang kita tulis di PLF (Passenger Locator Form) itu adalah nomor kursi aktual yang kita duduki selama di penerbangan.
Selain itu, kita diwajibkan pakai masker medis sepanjang penerbangan kecuali makan. Di pesawat juga kita dikasih sanitary kit isinya: hand sanitizer sachet, tisu basah, dan masker medis cadangan.
Hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah mengenai kapasitas bagasi. Penerbangan selama pandemi ini ternyata membuat aturan allowance bagasi menjadi sangat ketat. Jadi jangan cuma memperhatikan total weight, tapi juga ukuran koper bagasinya ya! Kemarin aku ada masalah, jadi aku pikir aku punya total baggage’s allowance 32 kg (27 kg masuk bagasi + 5 kg kabin). Total bagasi itu bisa aku sharing, artinya aku pikir aku bisa full 32 kg masuk bagasi semua, gak ada kabin. Ternyata gak bisa, bener-bener harus tepat 27 + 5 kg. Ukuran koper yang masuk kabin juga harus sesuai, kalau gak sesuai akan masuk bagasi dan akan dihitung ke total koper bagasi. Hati-hati malah jadi overweight. Alhamdulillah-nya total bagasi aktualku kurang dari 32 kg (sedikit), jadi gak perlu bayar. Katanya sekarang, bahkan tambah 1 kg aja harus bayar fee!
–
Oh ya, satu hal lagi yang penting. Di masa pandemi yang penuh ketidakpastian ini, di mana penerbangan bisa sewaktu-waktu dibatalkan karena kurangnya kuota penumpang, maka lebih baik membeli tiket pesawat langsung ke maskapainya. Bukan melalui third party seperti Traveloka atau melalui agen. Mengapa? Karena kalau ada masalah seperti ini, kita bisa langsung claim ke pihak maskapai dan tentunya bisa lebih cepat. Kalau bisa beli via third party, claim kita cuma bisa sampai ke third party, nanti pihak third party yang akna meneruskan ke pihak maskapai. Berbelit-belit, bukan? Walaupun beli di third party kita bisa dapat kemungkinan diskon atau voucher, tapi buatku masa-masa seperti ini gak usah terlalu mikirin begituan selama harga tiket masih wajar.
Waktu kami sampai di Abu Dhabi saat transit, sungguh sedih sekali karena seperti bandara mati. Sepi sekali. Bahkan sholat pun gak boleh, karena mushola ditutup. Aneh haha. Akhirnya waktu transit kami sholat di kursi ruang tunggu penerbangan.
–
Penerbangan berlangsung dengan lancar, makanannya juga enak masuk selera kami yang cukup pilih-pilih. Untuk makanan, karena aku ada alergi, aku bisa request pada saat pembelian tiket. Request khusus makananku juga dipenuhi dengan baik. Bahkan karena aku punya kondisi kesehatan pribadi, aku merasa lebih aman karena makananku disajikan lebih awal. Jadi aku gak harus makan bareng dengan penumpang lain.
Perjalanan Bandung-Jakarta-Abu Dhabi-Brussels-Liège berlangsung selama 32 jam. Alhamdulillah, kami sampai di rumah baru kami.